Selama 10 hari penuh, saya menghabiskan waktu berdua saja dengan seorang sahabat. Oh, tentu saja dia perempuan. Tugas dari kantor membawa kami ke tempat yang sama sekali berbeda dari lingkungan tempat kami biasa tinggal. Yang nyata terasa adalah suhu udara yang luar biasa dingin, makanan yang kurang menggugah selera, penggunaan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari, pakaian muslimah kami yang selalu menarik ‘perhatian’, juga peraturan dan etiket tersendiri yang tidak bisa diabaikan.
Pada hari-hari pertama, semua terasa lancar dan menyenangkan. Namun saat tubuh mulai terasa penat, emosi mulai meningkat, dan biasanya diikuti jalan pikir yang pendek, masing-masing dari kami mulai muncul ‘aslinya’. Yang satu inginnya selalu rapi, satunya berantakan. Yang satu terlalu banyak mengingatkan, satunya lagi lebih banyak diam. Yang satu pelupa, satunya ceroboh. Yang satu cuek saja mati gaya asal tidak kedinginan, satunya lagi selalu minta pendapat akan kesesuaian warna & model pakaian (walaupun pada akhirnya menyerah juga tabrak lari karena kedinginan). Yang satu suka sekali memotret dengan kameranya, satunya lagi harus selalu memotret berulang kali, khawatir dikomentari si tukang potret karena hasilnya kurang optimal (“Yaaah, kok miring sih?” atau “Yah, ini mah goyang kameranya, nggak fokus nih..” atau “Aduh, tulisannya kok malah ketutupan tiang sih??). Hal-hal kecil dan sepele bisa menjadi sumber dari tidak berinteraksinya kami berdua selama beberapa menit. Walau tidak sampai saling benci, beberapa tarikan nafas panjang menandai usaha kami untuk menghilangkan pikiran negatif masing-masing.
Intermezzo: [Waw, bagaimana nanti dengan ‘pasangan hidup’ ya? Bukankah laki-laki dan perempuan punya perbedaan besar? Dan dengan-‘nya’ tidak hanya 10 hari, tapi seumur hidup! Argh!] :-)
Oh ya, saya teringat seorang ibu –rekan kerja- mengSMS sesaat sebelum kami berdua berangkat: “Both of u will be fine, saling mendukung & toleransi ya. Dibawa enak aja. Safe trip!”
Hmm... Saling mendukung, toleransi dan dibawa enak aja. Sip deh, bu!
Kalau boleh, mungkin bisa ditambah saling jujur dan percaya. Jangan hanya diam memendam pendapat, tapi coba aktif berkomunikasi. Saling menghargai, saling membantu, usahakan selalu berfikir positif dan selalu memberikan yang terbaik pada yang lain. (Lha, jadi banyak gini??!) :p
Kembali ke atas. Ehm.. walaupun keunikan masing-masing pribadi mewarnai saat-saat kami menghabiskan waktu bersama, saya tak akan pernah lupakan eratnya jabat tangan saat kami berada di beberapa lokasi fantastis yang kami kunjungi, berteriak kegirangan, dan mengucapkan ungkapan yang selalu sama: “Subhanallah... Gila, keren banget!” . Oh, juga saat sama-sama mengumpat kesal ketika yang satu lupa membawa kamera, yang satunya lagi kehabisan baterai kamera (setelah secara tidak sengaja malam-malam tersasar ke daerah China Town yang tengah merayakan Tahun Baru Imlek! Ouch!!). Hmm... Kami memang perpaduan yang aneh. :D
Ya. London, Paris dan Amsterdam menjadi bonus tugas kami mengikuti rangkaian workshop yang mendebarkan di Aberdeen, Skotlandia. Syukur Alhamdulillah, kami berdua telah melewatinya.
Gw rasa, gw nggak akan mampu kalo perginya nggak sama lo, i.
Makasih udah bisa sabar ngadepin gw.
You’re the best! ;)