Jendela Luluk

Wednesday, August 24, 2005

 

Siapa dalam lift?

Banyak bersliweran kisah-kisah menyeramkan di seputar gedung tempat saya berkantor, membuat... yah setidaknya saya- tersugesti untuk mengaitkan kejadian ‘biasa’ menjadi tidak biasa. Kamar mandi, tempat sholat, atau dapur kantor menjadi setting favorit untuk kejadian-kejadian 'tidak biasa' tadi. Suara-suara tidak jelas, bayangan berkelebat, perasaan diawasi, keran air yang terbuka sendiri atau lampu dan AC yang mati tiba-tiba... mmm... tidak hanya satu dua kali terjadi disini.

Tetapi menurut saya, tempat unik yang pernah menjadi setting kejadian 'tidak biasa' adalah lift. Tempat dimana kita tidak tahu siapa yang akan muncul keluar dari lift (pada saat kita menunggu lift untuk naik ke lantai atas) dan tidak pula bisa menebak siapa yang menantikan lift di lantai atas (saat kita didalam lift menuju keatas).

Pernah, saat saya dan beberapa orang teman pulang sekitar pukul 18.30, sambil ngobrol masuk lift, pencet tombol untuk menutup pintu, lanjut ngobrol lagi. Pintu tertutup dan lift bergerak. Baru beberapa saat, pintu lift membuka dan hiiiiy... ternyata lift berhenti di lantai 9 tempat Ruang Sidang berada. Pemisah antara lift dan ruangan super besar itu hanya dinding kaca yang (pastinya) tembus pandang. Keadaan gelap gulita dan satu-satunya sinar hanya berasal dari lampu didalam lift. Samar-samar bayangan kursi-kursi kosong, mimbar yang tinggi, garuda pancasila, juga potret SBY-Kalla terlihat. Karena pikiran sudah macam-macam mengingat banyak cerita seru di seputar ruang sidang, buru-buru tombol tutup pintu dipencet, disusul tombol lantai ‘B’ –lantai paling bawah. “Lo gimana sih, Luk. Tadi nggak pencet B ya? Serem tau!” protes seorang teman. Haduuuuuh, padahal saya juga sport jantung waktu itu.

Yang kedua, pengalaman mendebarkan terjadi saat ingin menunaikan sholat Maghrib berjamaah awal minggu ini. Kebetulan toilet, tempat wudhu, musholla dan lift berada pada satu tempat yang sama, koridor lantai 8. Setelah saya dan 2 orang teman selesai berwudhu, sambil menunggu teman yang lain, kami bertiga duduk-duduk di kursi tunggu yang ada disamping lift. Seorang teman yang kerap menjadi imam memaksa sholat dilakukan di musholla timur, karena lebih luas dari musholla barat. Sambil misuh-misuh, kami bertiga mengambil perlangkapan sholat yang ada di musholla barat (karena memang disimpan disana), dan harus mengambil jalan memutar, di seberang lift. Sebelum 3 meter jaraknya kami mencapai musholla timur, tiba-tiba... Ting! Pintu lift terbuka dengan tidak ada siapa-siapa didalamnya! Mmm.. yah sebenarnya biasa saja sih, tapi salah seorang yang (menurut saya) paling berani malah lari mendului kami sambil sedikit berteriak ‘Nggak ada orangnyaaaa!!’. Haduuuuuh, sepersekian detik setelahnya saya juga lari secepat kilat menuju musholla timur.

Logikanya kan begini:
Kalau ada orang ingin turun... tentunya orang ini harus meminta lift dan harus pencet tombol dari lantai 8. Sementara sekian lama kami bertiga duduk disamping pintu lift yakin tidak ada seorang pun yang memencet tombol lift. Teman-teman yang lain sedang sibuk berwudhu. Kalau ada orang dari bawah naik ke lantai 8. Siapa? Satpam iseng? Atau ada pegawai yang naik ke lantai antara lantai 1 sampai 7, dan iseng pencet tombol lantai 8. Begitu lift sampai ke lantai yang dituju (di lantai 1-7 tadi), dia keluar, lalu lift meneruskan perjalanan ke lantai 8 dengan tidak membawa penumpang. Tapi ya ampun, adakah orang segitu isengnya mencetin tombol ke lantai yang tidak dia tuju di saat Maghrib dan keadaan sudah remang-remang karena sebagian besar lampu sudah dimatikan, kecuali... :( hiiiiiy...

Pengalaman lain, tepat 2 hari lalu. Sesaat setelah menunaikan Sholat Maghrib 5 menit menjelang pukul 7 malam (ouch!), saya dan 2 orang rekan beranjak pulang. Seperti biasa masuk lift bertiga, pencet tombol tutup pintu dan (tidak akan pernah lupa untuk) pencet tombol ‘B’ untuk lantai dasar. Hening, ngobrol sedikit, hening lagi karena terlalu lelah berbicara sambil sesekali melirik pergerakan lampu rute lift. 8... 7... 6... 5... 4... 3... Ting! Haduuuuh, siapa sih yang mau naik dari lantai 2 keadaan sudah gelap gulita, suasana sedemikian sunyi senyap, kondisi fisik lumayan lelah, tak kuasa untuk menahan debar jantung yang deg-degan, siapa sih yang masuk?? Rasanya lamaaaa menunggu pintu lift terbuka, dan akhirnya... jreeeng! Hah!!? believe it or not: PAK REKTOR! Gila! (Ini asli gue kagak bo’ong!) Bapak rektor -yang sekian tahun lamanya saya kuliah- rasanya ingiiin sekali menjabat tangannya sebagai tanda kelulusan. Bapak rektor yang tahun lalu dimaki-maki senat mahasiswanya karena menerapkan admission fee sampai 25 juta. Bapak rektor yang...

“Belum pulang, pak?” *standar banget*
“Nah ini saya baru mau pulang.”
“Ooh, hehe..” *stupid question*
“Lho, kok juga baru pulang jam segini.” *bertanya ke rekan saya*
“Eh, errrr... Mmm hehe...” *rekan saya ini speechless*
“Hmm...” *duh, senyum bukan tuh?*

Hening.
Pandangan pak rektor beralih dari kami, ke nyala lampu rute lift, lalu ke ujung sepatunya. Saya ikut-ikutan.

Ting!
“Yok, mari.”
“Eh, ya mari pak.”

Bapak tahu nggak, sekian detik yang lalu jantung saya hampir copot mengira akan ada yang ‘tidak-tidak’ ketika lift berhenti di lantai 2, eh nggak tahunya yang muncul malah bapak.. hihi..

:D What a girl!

Tuesday, August 16, 2005

 

abu gosok dan kue bolu

Siapa sajakah yang biasa memberikan sedekah pada pengemis yang biasa duduk-duduk di pinggir jalan? Seorang pekerja kantoran.. atau mahasiswa.. atau seorang ibu rumah tangga yang baru pulang dari pasar?

Pagi ini saya melihat seorang tukang abu gosok dengan gerobaknya menjatuhkan beberapa keping uang logam ke bekas tempat sabun cuci warna biru yang disorongkan si pengemis pinggir jalan. Sementara saya, membawa bekal kue bolu bikinan ibu 6 potong besar-besar untuk sarapan pagi ini bersama teman-teman.

Malu deh.


Wednesday, August 10, 2005

 

Vaksinasi Hepatitis B

Image hosted by Photobucket.com Sudahkah Anda divaksin Hepatitis B? Jika belum, datanglah ke PKM -Pusat Kesehatan Mahasiswa UI. Dari Bulan Mei sampai Agustus ini, ada vaksinasi murah dengan biaya sebesar Rp.65.000,- per 1 kali suntik. Menurut teman saya, ini termasuk murah karena biasanya jenis vaksinasi ini bila dilakukan di rumah sakit bisa mencapai Rp.300.000,-

Vaksinasi hepatitis B dilakukan dengan 3 kali penyutikan. Antara penyuntikan 1 dan 2 dibutuhkan selang waktu 1 bulan. Untuk penyuntikan ke-3, dilakukan 6 bulan kemudian dan vaksin ke-3 ini berfungsi sebagai booster sehingga akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah titer hasil penyuntikan sebelumnya masih tinggi atau tidak. Jika masih tinggi, penyuntikan akan ditunda sampai titernya rendah.

Satu syarat utama sebelum melakukan vaksinasi hepatitis B adalah melakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui positif atau tidaknya kita menderita hepatitis B. Kalau kita sudah positif menderita hepatitis B, ya buat apa divaksin kan? :) Test pack untuk pemeriksaan hepatitis B mirip dengan test pack kehamilan. Bedanya, jika tes hamil menggunakan urin, maka tes hepatitis menggunakan darah yang diambil dari ujung jari tengah. Jika darah pada test pack membentuk 2 garis, berarti positif terkena hepatitis B. Menurut saya, tahap inilah yang paling mendebarkan, karena –lepas dari kita boleh divaksin atau tidak- disinilah kita divonis positif / tidaknya kena hepatitis B. Menurut dokternya, di kampus Salemba sudah ada beberapa mahasiswa yang positif, tetapi di kampus Depok tidak ditemukan 1 orang pun.

Oh ya, tentu saja Anda harus berstatus mahasiswa atau staf pengajar untuk bisa ikut vaksinasi di PKM, atau setidaknya orang dalem UI deh. Mmm.. tapi.. yang udah kerja tapi tampang masih mahasiswa, bisa lolos divaksin kok. Seperti saya contohnya (whuaa..), yang niat banget divaksin meskipun kartu mahasiswa udah nggak laku. Mencegah lebih baik daripada mengobati bukan? ;)

---
Penjelasan singkat mengenai hepatitis B bisa dibaca di Hepatitis B Fast Facts. Everything you need to know in 2 minutes or even less! *halah*

Monday, August 08, 2005

 

unclear

...lagi liat-liat abstrak singkat beberapa jurnal Pediatrics dan menemukan artikel ini: Declining Diagnosis of Birth Asphyxia in California: 1991-2000. Satu studi kohort retrospektif yang mencari insidens dan tingkat keparahan kasus asphyxia pada rentang tahun 1991-2000. Studi kohort retrospektif adalah studi yang dilakukan dengan melihat sumber data (dalam hal ini catatan rumah sakit di Negara bagian California), pada rentang waktu yang dimulai dari titik waktu tertentu sampai titik waktu tertentu ke belakang (pada studi ini ditetapkan tahun 2000 sampai 10 tahun ke belakang, tahun 1991). Asphyxia disini adalah satu gejala kesulitan bernafas pada bayi neonatal yang ditandai dengan kulit bayi berubah warna menjadi biru, dapat terjadi pada 2 sampai 9 bayi neonatal per 1000 kelahiran hidup.

...begitu membaca kesimpulan studi ini, cuma ada 2 kalimat:
The diagnosis of birth asphyxia has decreased dramatically in recent years. The factors that are responsible for this decline are unclear and deserve additional investigation.

Ya ampuuuun. Jadi cuma begini doang? Studi segitu gedenya...sebentar, berapa banyak tadi sampelnya ya? Oh, ini dia: 5.364.663 kelahiran hidup! Gila kan??! Mereka memang menemukan penurunan kejadian asphyxia dari 14.8 menjadi 1.3 per 1000 kelahiran hidup, tapi apa yang membuat angkanya jadi turun dramatis –disitu ditulis: unclear! Nggak ada usaha laen apa??!

Dibaca lagi - baca lagi sampai ke artikel lengkap, ternyata ada ini:
Our study is based on administrative data and thus is subject to a number of limitations. We were unable to determine the criteria used by treating physicians to make specific diagnoses such as birth asphyxia, and we relied on hospital discharge diagnoses that may not have been recorded accurately. Although we did not find evidence that incidence rates for birth asphyxia declined because of increased use of related codes, it is possible that other systematic changes in coding practice contributed to the apparent decline in birth asphyxia. However, the concept of birth asphyxia is problematic and subject to conflicting and potentially misleading interpretation that lead only to additional confusion among patients, clinicians, and researcher.

Yeeee, bilang dong daritadi di bagian abstrak-nya. Disinggung dikit kek gitu, biar yang ngebaca nggak napsu duluan studi segede gambreng gitu cuma disimpulkan unclear. X(

Archives

July 2004   August 2004   September 2004   October 2004   November 2004   December 2004   January 2005   February 2005   March 2005   April 2005   May 2005   June 2005   July 2005   August 2005   September 2005   October 2005   November 2005   December 2005   February 2006   March 2006   April 2006   May 2006   December 2006   February 2007   May 2007   March 2008   April 2008   May 2008   June 2008   November 2008   January 2009   May 2009   June 2009   December 2009   November 2010  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]