Pada Minggu 3 Juli lalu, komunitas
Sebelumnya, perlu diketahui ‘pintong’ bukanlah ‘PTD’ (Plesiran Tempo Dulu) yang pada pelaksanannya para peserta diberi sinopsis, dibekali roti anak buaya+aqua botol, dibagi kedalam kelompok kecil untuk didampingi kapiten yang siap menerangkan+menjawab pertanyaan dari peserta dengan jawaban yang ngaco+membagikan hadiah jika peserta menjawab kuis dengan benar, dilindungi oleh traffic team yang menghadang kendaraan setiap rombongan menyeberang jalan, dan semua kemanjaan lain kepada setiap pesertanya. ‘Pintong’, memberi kesempatan kepada (yang biasanya) menjadi panitia di setiap acara-acara yang diadakan batmus, untuk bisa merasakan jadi peserta. Nah trus, yang bener-bener peserta gimana? Ya walopun nggak modal apa-apa, sangat dianjurkan untuk deket-deket aja sama panitia, kecipratan juga kok. Kecipratan ikut-ikutan ancur maksudnya, hehe.. :p
Tapi dirasa-rasa, akibat langsungnya jadi repot nih. Nggak ada sinopsis, berarti nggak ada bahan buat ditulis. Bener-bener mengandalkan memori… (Ssst.. padahal memorinya Luluk payah lho!) :D Ah, yang penting nulis aja dulu-lah!
Ehm.. Ehm..
Pagi itu, rangkaian acara dimulai dari kawasan Taman Fatahillah atau alun-alun Fatahillah atau dulunya disebut Stadhuis Plain (taman balaikota), yang letaknya persis di depan Museum Fatahillah. Tepat di alun-alun ini, konon pada zaman dahulu, terpancang tiang gantungan. Disinilah sampai menjelang akhir abad ke-19 para terhukum dieksekusi dengan pisau guiletine, atau dipancung dengan pedang. Tragisnya, pada saat eksekusi, masyarakat diminta berbondong-bondong menyaksikan. Pejabat penjara mendatangi kampung-kampung dengan membunyikan genderang, menyuruh mereka menyaksikan peristiwa itu.
Museum Fatahillah sendiri dulunya merupakan stadhuis Batavia atau Balaikota Kota Batavia, dan kalau tidak salah nih, didirikan pada awal masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie/Serikat Dagang Hindia-Belanda), kurang lebih 3 abad yang lalu, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterzon Coen, sekitar 1620-an. Stadhuis selain sebagai kantor Gubernur Jenderal VOC wilayah Asia, juga merupakan kantor dewan pengadilan, sebagai kantor catatan sipil, sekaligus sebagai penjara bagi para pejuang bangsa.
Penjaranya seperti apa? Well, coba bayangkan: letaknya di bawah lantai utama gedung, tingginya hanya 1.5 meter, gelap, lembab, panas karena tidak berventilasi, dan didalamnya terdapat ratusan besi sebesar bola, berikut rantai-rantai untuk dipasangkan di kaki para napi. Kalau Anda masih kurang percaya, pergi ke Museum Fatahillah dan lihat pakai mata kepala sendiri. Sekarang pun, sampai ke bola-bola besinya masih ada! Tercatat ada Pangeran Diponegoro, Untung Suropati dan Oei Tambahsia (bener nggak sih nulisnya?) pernah merasakan disekap disini. Konon, banyak diantara mereka yang mendekam di penjara ini sebetulnya tidak bersalah. Ini terjadi akibat seringnya pengadilan yang direkayasa akibat para hakim tunduk pada pihak penguasa. Disamping karena para napi tidak tahan terhadap penyiksaan. Penyiksaan ketika itu merupakan cara biasa untuk mengorek keterangan, sebab jika tersangka tidak mengakui kejahatannya ia tidak boleh dihukum.
Pada abad 18, seorang bernama Pieter, yang terkenal anti-Belanda, dituduh akan mengadakan kekacauan di
Parahnya, beberapa tahun kemudian baru diketahui bahwa si Pieter ini tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Peristiwa sebenarnya adalah Pieter menolak tawaran jenderal Belanda yang berkuasa waktu itu untuk menjual tanah miliknya yang berada di kawasan elit
Nah, balik ke masa kini. Pada saat peserta pintong menunggu teman-teman yang lain berdatangan, Adep sang ketua kelas menguraikan beberapa catatan sejarah dengan memperlihatkan beberapa gambar jadul (jaman dulu –red.) dari stadhuis dan sekitarnya. Ternyata disamping memori buruk tentang penjajahan, stadhuis plein juga dikenang sebagai tempat yang teduh karena banyak pohon-pohon rindang, tempat berkumpulnya pedagang, tempat bertemunya muda-mudi karena merupakan pusat kota / alun-alun, dulunya ada bangunan semacam Arc De Triumph yang ada di Perancis sana (sayangnya sekarang sudah tidak ada karena dianggap terlalu Orde Belanda sehingga dihancurkan pada sekitar tahun 1960-an), dan dulunya juga ada lintasan trem tidak jauh dari bangunan stadhuis.
Kemudian setelah semua batmus berkumpul, perjalanan dimulai dengan berjalan kaki ke arah utara, tepat mengarah ke arah depan museum Fatahillah. Menerobos beberapa pedagang kaki
Perjalanan berlanjut membalik ke arah Barat dan kemudian kembali ke arah Utara untuk mengunjungi Westzijdepakhuizen yang dulunya merupakan Gudang sisi barat dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Bangunan ini masih berdiri kokoh, terdiri dari 2 bangunan terpisah, yang lantai dan tangganya terbuat dari kayu bahkan sampai ke tingkat 3! Bangunan ini mungkin sudah mengalami pemugaran karena masih kokohnya kayu sebagai penyangga bangunan, tapi mengenai hal ini saya tidak tahu pasti. Sekarang, bangunan ini difungsikan sebagai Museum Bahari oleh pemerintah DKI Jakarta, tempat diperlihatkannya berbagai jenis perahu dan perlengkapannya dari berbagai daerah. Tarif masuknya cuma 1500 rupiah, itupun kita tidak mendapatkan bukti berupa karcis atau apapun yang menjadi prasyarat masuk kedalam gedung. Cukup menyedihkan melihat betapa kurang dihargainya keberadaan museum di
Tak jauh dari Museum Bahari, setelah melewati Pasar Ikan lama, terdapat suatu menara tua yang dikenal dengan sebutan Menara Syahbandar, yang dulu bernama Uitkijk. Jika naik ke atasnya, Anda dapat melihat ratusan kapal phinisi tengah bersandar di muara Sungai Ciliwung, Teluk Jakarta. Kapal-kapal layar itu datang dari berbagai kepulauan di tanah air mengangkut kayu dan barang kebutuhan lainnya untuk Kota Jakarta.
Dari menara inilah, ketika VOC memegang kendali Pelabuhan Sunda Kelapa, pasukan-pasukan kompeni mengawasi kapal-kapal yang masuk pelabuhan. Dulu, melalui pintu gerbang ini, kapal yang melewatinya harus memberi ‘uang rokok’ atau ‘pungli’. Hal ini (tentu saja) menandakan korupsi tidak pernah absen di
Bangunan menara masih terlihat kokoh, dan sama seperti Museum Bahari, lantai dan tangganya terbuat dari kayu, padahal tingginya kira-kira setingkat 4-5 lantai bangunan bertingkat di
Menjelang siang, perjalanan dilanjutkan ke Galangan Kapal VOC, sebuah kompleks resto tempat nongkrong, tepat di seberang jalan Menara Syahbandar.
Beberapa peserta tampak larut dalam pembicaraan seru seputar batmus, beberapa yang lain sibuk foto-foto menjadi ‘banci tampil’ (istilahnya batmus untuk ‘tidak pernah capek difoto’), dan sisanya mempertimbangkan untuk pamit pulang. Karena satu dan lain hal, saya juga termasuk kedalam mereka yang memutuskan untuk beranjak pulang setelah peluh mengering. Dari mailing list di kemudian hari, saya baru mengetahui bahwa dari Galangan VOC, batmus yang masih tersisa melanjutkan perjalanan ke jembatan Kota Intan atau dulu bernama Hoenderpassarbrug (saya nggak punya informasi kenapa dinamakan seperti itu dan bagaiman sajarahnya), kemudian kembali ke Museum Fatahillah, dan meneruskan perjalanan untuk melihat Pameran Foto yang digelar di sebuah tempat di daerah Glodok. Uh, sedikit menyesal karena tidak bisa ikut sampai akhir, tapi mungkin di lain waktu bisa tergantikan.
Lantas, apakah saya langsung pulang ke rumah selepas kabur dari pintong batmus yang gratisan ini? Tentu saja tidak. Luluk gitu loh, kudu mampir-mampir dulu dong. Bisa ketebak deh, kalau sudah ngayap ke daerah
~bravobatmus!
Subscribe to Post Comments [Atom]
July 2004 August 2004 September 2004 October 2004 November 2004 December 2004 January 2005 February 2005 March 2005 April 2005 May 2005 June 2005 July 2005 August 2005 September 2005 October 2005 November 2005 December 2005 February 2006 March 2006 April 2006 May 2006 December 2006 February 2007 May 2007 March 2008 April 2008 May 2008 June 2008 November 2008 January 2009 May 2009 June 2009 December 2009 November 2010
Subscribe to Posts [Atom]