Jendela Luluk

Wednesday, July 06, 2005

 

Pintong ke Sunda Kelapa


Pada Minggu 3 Juli lalu, komunitas Sahabat Museum (untuk selanjutnya disingkat batmus) kembali mengadakan Pintong yang tempat tongkrongannya kali ini adalah menyusuri kawasan Sunda Kelapa. Duh, padahal ada beberapa acara yang sebelumnya saya ikuti, tapi karena tidak ada kesempatan untuk menuliskannya disini, jadi terlewat begitu saja. Mungkin nanti di lain waktu. Asal Anda tahu saja, saya menulis entri ini juga karena ‘sindiran’ ketua kelasnya batmus, Adep. ‘Besok liputannya tinggal liat di jendela luluk ya! Biarin. Biar nggak males ngapdet!’ katanya, ke orang-orang. Beeeh, bagus beneer…

Sebelumnya, perlu diketahui ‘pintong’ bukanlah ‘PTD’ (Plesiran Tempo Dulu) yang pada pelaksanannya para peserta diberi sinopsis, dibekali roti anak buaya+aqua botol, dibagi kedalam kelompok kecil untuk didampingi kapiten yang siap menerangkan+menjawab pertanyaan dari peserta dengan jawaban yang ngaco+membagikan hadiah jika peserta menjawab kuis dengan benar, dilindungi oleh traffic team yang menghadang kendaraan setiap rombongan menyeberang jalan, dan semua kemanjaan lain kepada setiap pesertanya. ‘Pintong’, memberi kesempatan kepada (yang biasanya) menjadi panitia di setiap acara-acara yang diadakan batmus, untuk bisa merasakan jadi peserta. Nah trus, yang bener-bener peserta gimana? Ya walopun nggak modal apa-apa, sangat dianjurkan untuk deket-deket aja sama panitia, kecipratan juga kok. Kecipratan ikut-ikutan ancur maksudnya, hehe.. :p

Tapi dirasa-rasa, akibat langsungnya jadi repot nih. Nggak ada sinopsis, berarti nggak ada bahan buat ditulis. Bener-bener mengandalkan memori… (Ssst.. padahal memorinya Luluk payah lho!) :D Ah, yang penting nulis aja dulu-lah!

Ehm.. Ehm..

Pagi itu, rangkaian acara dimulai dari kawasan Taman Fatahillah atau alun-alun Fatahillah atau dulunya disebut Stadhuis Plain (taman balaikota), yang letaknya persis di depan Museum Fatahillah. Tepat di alun-alun ini, konon pada zaman dahulu, terpancang tiang gantungan. Disinilah sampai menjelang akhir abad ke-19 para terhukum dieksekusi dengan pisau guiletine, atau dipancung dengan pedang. Tragisnya, pada saat eksekusi, masyarakat diminta berbondong-bondong menyaksikan. Pejabat penjara mendatangi kampung-kampung dengan membunyikan genderang, menyuruh mereka menyaksikan peristiwa itu.

Museum Fatahillah sendiri dulunya merupakan stadhuis Batavia atau Balaikota Kota Batavia, dan kalau tidak salah nih, didirikan pada awal masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie/Serikat Dagang Hindia-Belanda), kurang lebih 3 abad yang lalu, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterzon Coen, sekitar 1620-an. Stadhuis selain sebagai kantor Gubernur Jenderal VOC wilayah Asia, juga merupakan kantor dewan pengadilan, sebagai kantor catatan sipil, sekaligus sebagai penjara bagi para pejuang bangsa.

Penjaranya seperti apa? Well, coba bayangkan: letaknya di bawah lantai utama gedung, tingginya hanya 1.5 meter, gelap, lembab, panas karena tidak berventilasi, dan didalamnya terdapat ratusan besi sebesar bola, berikut rantai-rantai untuk dipasangkan di kaki para napi. Kalau Anda masih kurang percaya, pergi ke Museum Fatahillah dan lihat pakai mata kepala sendiri. Sekarang pun, sampai ke bola-bola besinya masih ada! Tercatat ada Pangeran Diponegoro, Untung Suropati dan Oei Tambahsia (bener nggak sih nulisnya?) pernah merasakan disekap disini. Konon, banyak diantara mereka yang mendekam di penjara ini sebetulnya tidak bersalah. Ini terjadi akibat seringnya pengadilan yang direkayasa akibat para hakim tunduk pada pihak penguasa. Disamping karena para napi tidak tahan terhadap penyiksaan. Penyiksaan ketika itu merupakan cara biasa untuk mengorek keterangan, sebab jika tersangka tidak mengakui kejahatannya ia tidak boleh dihukum.

Ada contoh hukuman yang -kalau boleh disebut- benar-benar edan.

Pada abad 18, seorang bernama Pieter, yang terkenal anti-Belanda, dituduh akan mengadakan kekacauan di Batavia dan akan membunuh semua orang Belanda yang ada di kota ini. Pieter dan pengikutnya diputuskan dieksekusi dengan cara disalib. Kedua tangan mereka dipotong, dadanya dijepit dengan jepitan panas sampai kulitnya terkelupas, kemudian jantungnya dilemparkan ke muka mereka. Eksekusi ini masih dianggap ringan sebab eksekusi yang biasanya adalah tubuh korban diikat oleh empat ekor kuda yang berlari saling berlawanan, sehingga tubuh terhukum terobek-robek.

Parahnya, beberapa tahun kemudian baru diketahui bahwa si Pieter ini tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Peristiwa sebenarnya adalah Pieter menolak tawaran jenderal Belanda yang berkuasa waktu itu untuk menjual tanah miliknya yang berada di kawasan elit Batavia. Maka jadilah si orang nomer satu di Hindia Belanda ini menyebarkan isu makar kepada Pieter. Huh, emang dasar penjajah! >:(

Image hosted by Photobucket.com Nah, balik ke masa kini. Pada saat peserta pintong menunggu teman-teman yang lain berdatangan, Adep sang ketua kelas menguraikan beberapa catatan sejarah dengan memperlihatkan beberapa gambar jadul (jaman dulu –red.) dari stadhuis dan sekitarnya. Ternyata disamping memori buruk tentang penjajahan, stadhuis plein juga dikenang sebagai tempat yang teduh karena banyak pohon-pohon rindang, tempat berkumpulnya pedagang, tempat bertemunya muda-mudi karena merupakan pusat kota / alun-alun, dulunya ada bangunan semacam Arc De Triumph yang ada di Perancis sana (sayangnya sekarang sudah tidak ada karena dianggap terlalu Orde Belanda sehingga dihancurkan pada sekitar tahun 1960-an), dan dulunya juga ada lintasan trem tidak jauh dari bangunan stadhuis.

Kemudian setelah semua batmus berkumpul, perjalanan dimulai dengan berjalan kaki ke arah utara, tepat mengarah ke arah depan museum Fatahillah. Menerobos beberapa pedagang kaki lima kagetan yang setiap hari libur menggelar dagangan, memanfaatkan para pengunjung museum untuk melirik dagangannya. Kurang lebih 3 blok dari stadhuis, kemudian belok kanan ke arah timur, melewati jajaran truk pengangkut barang-barang pelabuhan yang parkir manis di tempatnya, kita sampai di sebuah –boleh dikatakan- reruntuhan bangunan yang dulunya (kalau tidak salah) adalah Benteng Batavia. Temboknya masih terlihat tinggi dengan ketebalan sekitar 30-an sentimeter. Konon, Belnda mendirikan beberapa benteng untuk menjaga pelabuhan sebagai pintu masuk Kota Batavia. Salah dua yang masih terlihat reruntuhan temboknya adalah Benteng Batavia ini dan satu lagi, Benteng Onrust yang ada di Pulau Onrust - Kepulauan Seribu. Nah, kata ketua kelas batmus, bakalan ada plesiran ke Onrust lho, tunggu tanggal mainnya aja.. ;)

Image hosted by Photobucket.comPerjalanan berlanjut membalik ke arah Barat dan kemudian kembali ke arah Utara untuk mengunjungi Westzijdepakhuizen yang dulunya merupakan Gudang sisi barat dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Bangunan ini masih berdiri kokoh, terdiri dari 2 bangunan terpisah, yang lantai dan tangganya terbuat dari kayu bahkan sampai ke tingkat 3! Bangunan ini mungkin sudah mengalami pemugaran karena masih kokohnya kayu sebagai penyangga bangunan, tapi mengenai hal ini saya tidak tahu pasti. Sekarang, bangunan ini difungsikan sebagai Museum Bahari oleh pemerintah DKI Jakarta, tempat diperlihatkannya berbagai jenis perahu dan perlengkapannya dari berbagai daerah. Tarif masuknya cuma 1500 rupiah, itupun kita tidak mendapatkan bukti berupa karcis atau apapun yang menjadi prasyarat masuk kedalam gedung. Cukup menyedihkan melihat betapa kurang dihargainya keberadaan museum di Indonesia (pada umumnya), dibandingkan negara-negara Eropa, misalnya. Logikanya, akibat pemasukan sedikit, biaya perawatan pun sedikit, lama-lama ya mati deh tu museum. :( Yang membuat saya suka bangunan ini adalah jendelanya yang dicat hijau terang khas Museum Fatahillah. Jadi penasaran, apakah dari dulu diwarnai seperti ini, ataukah baru-baru ini saja? Duh, kemarin kenapa nggak nanya yah..? :(

Image hosted by Photobucket.comTak jauh dari Museum Bahari, setelah melewati Pasar Ikan lama, terdapat suatu menara tua yang dikenal dengan sebutan Menara Syahbandar, yang dulu bernama Uitkijk. Jika naik ke atasnya, Anda dapat melihat ratusan kapal phinisi tengah bersandar di muara Sungai Ciliwung, Teluk Jakarta. Kapal-kapal layar itu datang dari berbagai kepulauan di tanah air mengangkut kayu dan barang kebutuhan lainnya untuk Kota Jakarta.

Dari menara inilah, ketika VOC memegang kendali Pelabuhan Sunda Kelapa, pasukan-pasukan kompeni mengawasi kapal-kapal yang masuk pelabuhan. Dulu, melalui pintu gerbang ini, kapal yang melewatinya harus memberi ‘uang rokok’ atau ‘pungli’. Hal ini (tentu saja) menandakan korupsi tidak pernah absen di Jakarta bahkan sejak jaman penjajahan Belanda. Baru tahu kan? ;)

Bangunan menara masih terlihat kokoh, dan sama seperti Museum Bahari, lantai dan tangganya terbuat dari kayu, padahal tingginya kira-kira setingkat 4-5 lantai bangunan bertingkat di Jakarta. Meskipun masih terlihat kokoh, untuk naik ke puncaknya kita masih diharuskan berhati-hati untuk tidak naik secara berombongan. Bisa jebol nanti tangganya. Jangan lupa pula untuk.. berpegangan ke pegangan tangganya kuat-kuat pada saat menaiki tangga! Deg-deg-ser lho, takut anak tangganya ambrol, hehe.. :p

Image hosted by Photobucket.com Menjelang siang, perjalanan dilanjutkan ke Galangan Kapal VOC, sebuah kompleks resto tempat nongkrong, tepat di seberang jalan Menara Syahbandar. Ada beberapa variasi tempat kumpul-kumpul disini. Mau yang a la taman di tempat terbuka, atau a la café dan bar khas barat, atau mau yang a la Pecinan? Tinggal pilih saja. Di sudut juga terdapat rumah joglo dengan ukiran khas Jawa, tetapi tampaknya hanya diperuntukkan sebagai penghias kompleks bangunan. Saya tidak punya infomasi banyak mengenai tempat ini, karena terlalu serius untuk melepaskan lelah setelah trekking yang jaraknya cukup lumayan.

Beberapa peserta tampak larut dalam pembicaraan seru seputar batmus, beberapa yang lain sibuk foto-foto menjadi ‘banci tampil’ (istilahnya batmus untuk ‘tidak pernah capek difoto’), dan sisanya mempertimbangkan untuk pamit pulang. Karena satu dan lain hal, saya juga termasuk kedalam mereka yang memutuskan untuk beranjak pulang setelah peluh mengering. Dari mailing list di kemudian hari, saya baru mengetahui bahwa dari Galangan VOC, batmus yang masih tersisa melanjutkan perjalanan ke jembatan Kota Intan atau dulu bernama Hoenderpassarbrug (saya nggak punya informasi kenapa dinamakan seperti itu dan bagaiman sajarahnya), kemudian kembali ke Museum Fatahillah, dan meneruskan perjalanan untuk melihat Pameran Foto yang digelar di sebuah tempat di daerah Glodok. Uh, sedikit menyesal karena tidak bisa ikut sampai akhir, tapi mungkin di lain waktu bisa tergantikan.

Lantas, apakah saya langsung pulang ke rumah selepas kabur dari pintong batmus yang gratisan ini? Tentu saja tidak. Luluk gitu loh, kudu mampir-mampir dulu dong. Bisa ketebak deh, kalau sudah ngayap ke daerah kota nyangkutnya kemana… Yup, Anda benar! Hunting DVD!! :D Nyahahaha… (Hush!)

~bravobatmus!


Comments:
pieter itu yang jadi terkenal `pecah kulit`nya kan? wah saya jadi pengen ikutan nih..
 
Pada pinter2 nulis yach, gimana kalo jadi penulis novel aja neng ? Walaupun gak ikutan, kayaknya gue berada dalam rombongan deh.
 
aduh, ternyata gitu ya.. kasian amat si pieter! emang dasar barbar penjajah tuh..huh *emang dasar lagi bete nih hehe
 
Kang Bagas,
alamat emailnya apa sih?
kebetulan batmus mau ada acara
17 Juli: Pintong naar Kampong Tjina
31 Juli: PTD naar Pulau Onrust
14 Agt: PTD Koeliling Djakarta
28 Agt: PTD Oud Bank in Oud Batavia
yuk, ikutan! ;)

Mbak Nani,
Luluk iseng-iseng aja kalo ada waktu nulis ngalor ngidul nih, hehe.. :p Kapan ketemu lagi? Jgn ke DT mulu dong ah, jauuh.. :D

Ling,
salam kenal! Ling itu yg mana ya kmrn? Ikutan jg kan? Bsk jgn lupa bawa kamera ya, kalo ikutan jalan2 lagi, hehe.. :p
 
Wah, asyik banget, jadi pengen ikutan. Ada yang versi jalan-jalan di bandung ngga?
 
dulu jmn saya esde ke fatahillah (80-an) di tangga depan pas teras pintu masuk yg ditinggikan semeteran itu dibawahnya ada ruang berisi air dgn pintu dari jeruji besi. ketika awal 2000-an saya kesana, saya sdh tak lagi melihat bekas-bekasnya. sepertinya sdh ditimbun dan dibikin dinding. jadi bui yang pernah konon dipakai utk memenjara diponegoro itu dilenyapkan. saya tak sempat tanya, kenapa? pernah tahu ceritanya luk?
 
Good design!
[url=http://mvrdkarf.com/tunf/xgwc.html]My homepage[/url] | [url=http://nlyrrqbt.com/zhfq/bxox.html]Cool site[/url]
 
Well done!
My homepage | Please visit
 
Thank you!
http://mvrdkarf.com/tunf/xgwc.html | http://oyyargkf.com/jpom/wzjc.html
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

Archives

July 2004   August 2004   September 2004   October 2004   November 2004   December 2004   January 2005   February 2005   March 2005   April 2005   May 2005   June 2005   July 2005   August 2005   September 2005   October 2005   November 2005   December 2005   February 2006   March 2006   April 2006   May 2006   December 2006   February 2007   May 2007   March 2008   April 2008   May 2008   June 2008   November 2008   January 2009   May 2009   June 2009   December 2009   November 2010  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]