Tumben. Tumben banget pagi ini bangun lebih pagi, sampai kantor juga lebih pagi dari biasanya. Tanpa rencana. Oh, tapi malam ini saya punya rencana mau ke Aksara Bookstore, untuk ngintip apakah masih ada majalah yang saya incer akibat kemarin sore chatting sama Pakde Ktut dan nyinggung-nyinggung JPG magazine.
Turun dari angkot, kemudian jalan kaki kira-kira 10 menit, maka sampailah saya di kampus –yang juga tempat kerja saya. Menjelang masuk kampus ada seorang anak usia sekolah yang menunggui jualan korannya. Saya kenal wajahnya karena kemarin-kemarin rasanya dia ‘nge-tem’ di dekat pagar kuning. Pagi ini dia duduk membelakangi pedestrian, menghadap lapangan yang penuh ilalang, dan disampingnya saya lihat ada 2 koran nasional: Kompas dan 1 koran lainnya. Di halaman depan Kompas, ada headline tentang Obama yang telpon-telponan ke SBY. Ah, tadi pagi waktu masih leyeh-leyeh di kasur sayup-sayup saya mendengar berita yang sama dari TV yang disetel emak. Hmm.. secara awal bulan ini bapak saya menyetop langganan korannya, penasaran juga apa yang ditulis kompas tentang berita ini. Tapi, eghhh, lagi ribet bawa tas 2, dan repot ambil uang lagi, karena uang di kantong biasanya hanya ngepas buat ongkos.
Dengan berniat untuk menaruh tas dulu di kantor, untuk balik lagi, saya berjalan cepat. Didepan musholla malah ketemu 2 temen yang ngajak ngobrol panjang lebar, mungkin pikir mereka hari masih pagi, jadi tidak perlu terburu waktu mengejar jam masuk kantor. Tiba di ruangan, saya hidupkan komputer dulu untuk menangkap sinyal hotspot UI yang biasanya lama kenanya. Eh, ini cepet banget. Larutlah saya membuka account-account email, satu yang menarik saya dapat dari Nina, judul emailnya ‘Do you know that..’. Ada 1 point-nya yang ditulis disitu ‘Tahukah anda kalau anda menolong seseorang, pertolongan tersebut dikembalikan dua kali lipat?’
Haiyaaa.. lupa saya akan niatan mau beli Kompas ke bocah kulit hitam tadi. Jujur niatan saya beli koran sekaligus mau nolong mengurangi kewajiban si bocah supaya koran dagangannya habis. Toh, saya dapat koran yang saya mau. Nggak rugi dong saya. Langsung saya turun, sedikit jalan keluar kampus, ah..dia masih ada. Saat itu saya berjalan seolah-olah mengarah lurus, hanya ingin melirik apakah Kompas masih ada. Tapi Kompas-nya habis! Ada sedikit semburat rasa kecewa di hati.
‘Mbak, beli korannya, mbak!’ Sial, ketahuan saya ngelirik dagangannya.
‘Berapa korannya, dek?’
‘Ceng-go, mbak.’
‘Ceng-go berapa sih?’
‘Seribu lima ratus, mbak.’
Saya keluarkan lembaran seribu dan koin limaratusan sembari berjongkok memungut 1 koran tipis itu.
‘Mbak, sekalian nanya, disini ada beasiswa untuk sekolahan apa nggak?’
Dari pertanyaannya yang terakhir itu pula yang kemudian menjadi awal semuanya.
Anak ini mengaku berjualan koran untuk membantu ibunya yang kerja sebagai buruh cuci untuk menghidupi keluarganya. Ayahnya sudah meninggal. Kakak laki-lakinya 1 orang sudah SMA di sekolah berasrama. Gratis, karena prestasi kakaknya ini bagus. Adiknya 3 orang, yang 1 kelas 6 SD, 2 lainnya belum bersekolah. Si anak ini dilarang masuk oleh gurunya karena menunggak bayaran sekolah sejak Oktober. Saya sampai lupa, sekarang bulan apa ya? Aduh, sudah masuk akhir November.
‘Memang bayaran sekolah berapa?’
’35 ribu, mbak’
Saya tengokkan kepala ke kiri, bangunan kampus menjulang, beberapa mahasiswa/i melewati kami, dan saya lihat beberapa membawa tas besar sebagai wadah laptop. Sialan, mata sudah mulai berair. Saya yakin betul nggak ada bantuan dana beasiswa untuk siswa sekolah. Kalaupun ada, untuk birokrasi aja bisa bikin anak ini nunggak uang sekolah 2 bulan lagi. Bagaimanapun, pertanyaannya tadi harus saya jawab.
‘Dek, kalau beasiswa untuk sekolah kayaknya nggak ada. Nanti saya tanya-tanya dulu ya, kalau ada nanti dikasitau.’
Matanya langsung redup. Kepalanya lantas menunduk.
Lalu saya perhatikan semuanya.
Anak ini kulitnya gelap, rambutnya keriting nempel di kepala. Baju kaosnya terlihat lama, tapi bersih. Celana pendeknya selutut, dan sendal jepitnya sudah tampak tipis. Entah bagaimana, gambaran akan keluarganya terbayang di sosok anak ini. Upah buruh cuci untuk menghidupi 5 orang anak. Hell, it's not easy.
‘Mmm, kalo kakak bantuin bayar sekolah sebulan gimana?’
‘Jangan!’
‘Nggak apa-apa, sebulan doang kok.’
‘Nggak usah, mbak’
Saya perhatikan lagi anak ini. Pernah dari email-email atau cerita teman-teman, banyak pengemis-pengemis palsu, pura-pura kesusahan untuk dapat simpati dari orang. Tapi anak ini, saya nggak bisa nemu ada kepura-puraan dari bahasa tubuhnya. Beberapa hari belakangan saya juga pernah melihat sosoknya berjualan koran. Air mukanya sekarang ini, sesaat mendengar tawaran saya, antara bingung, malu, ada rasa kepengen, tapi ada sedikit ketahanan untuk menolak.
‘Tunggu ya, kakak mau ambil di tas dulu. Kamu tunggu disini’, nada suara sudah mulai mengayun. Buru-buru sambil sedikit berlari saya tuju bangunan kantor. Sesekali kepala didongakkan keatas mencegah air mata jatuh. Sialan. Malu, Luluk, banyak mahasiswa/i keliaran di kanan kirimu.
Arrrgh, setelah ngubekdi dompet hanya ada lembaran ribuan dan 2 lembar limapuluhan ribu. Tanya temen-temen yang sudah datang untuk tukar uang receh, nggak ada yang punya. Ita mengusulkan, ‘jajan aja dulu, mbak, ke bursa.’ Bursa itu semacam koperasi fakultas yang kalau pagi banyak menyediakan sarapan kecil-kecilan. Oke. Sampai di bursa, refleks buka kulkasnya, ambil susu ultra. Ke meja kasir, ah..harganya 3500, 10 kali aja saya beli susu ini udah bisa bayar sekolah si bocah penjual koran.
Sedikit berlari, saya hampiri tempat dia tadi berjualan. Tapi dari kejauhan sudah terlihat sosoknya, berdiri seperti menanti seseorang, beberapa langkah lebih dekat kampus saya. Mukanya datar, malah cenderung serius, seperti sedang memikirkan. Beberapa, mungkin 2-3 eksemplar koran tipis cenggo-an didekapnya.
‘Ini ya, buat 1 bulan.’
‘Makasih, mbak.’
‘Kamu mau habiskan korannya dulu?’
‘Nggak, mbak, abis ini langsung ke sekolah.’
‘Oh. Ya udah ati-ati.’
Mau tanya apa lagi ya saya? Nomer telepon? Ah, mungkinkah keluarganya punya telefon? Mau tanya alamat rumah, saya juga sangsi ada waktu mengunjunginya. Ya ampun! Namanya. Siapa namanya?
‘Eh, nama kamu siapa, dek?’
‘Sekolahnya dimana sih?
Devinus, mbak.
Sekolah di SMP Kasih, Depok.
Sesaat setelah itu dia langsung berbalik arah pergi bersama koran-korannya.
Sekembalinya ke meja kerja saya, terus terngiang-ngiang di telinga pesan dari Bu Nurul, rekan kerja di kantor lama:
‘Jangan kira orang yang terlihat sedikit hartanya adalah orang yang rendah derajatnya dan oleh karenanya kamu mengasihaninya. Bisa saja dia lebih mulia dan jauh lebih tinggi derajatnya. Itu kamu yang perlu dikasihani.’
Mudah-mudahan apa yang saya buat tadi pagi bukan perbuatan yang salah.
***
- Tulisan ini sifatnya ‘sharing’ aja. Beneran kena di hati soalnya, tentunya ini skenario yang diatas. Oke, saya hitung-hitung tanggal segini saya juga ada pada periode PMS, hehe.. Itu mungkin juga berperan.
- Tidak ada niatan saya untuk bermaksud pamer. Sombong hanya untuk 35.000 rupiah, konyol namanya. Apalah arti 35.000 buat kita kan? (asumsi ‘kita’ disini ya seperti saya: saat ini bekerja, pegang HP, terkoneksi internet, makan siang 10-15ribu. 35ribu bisa untuk makan siang 2-3 hari di Depok. Bagi Anda yang yah sedikit ‘royal’ di Jakarta sana, mungkin kurang untuk 1 kali makan.)
- Tidak ada niatan juga untuk minta bantuan, karena saya baru sadari, kalau dia sudah bayar uang sekolahnya Bulan Oktober, mungkin gurunya mengizinkannya masuk sekolah lagi. Dan sampai dia tidak menunggak uang sekolah Bulan November, tentunya saya tidak akan pernah menjumpainya lagi berjualan koran di Bulan Desember.
- Lalu, apakah jadi saya ke Aksara untuk beli JPGmag seharga 50ribu malam ini? Entahlah..