Pernah nggak Anda punya keinginan tertahan untuk bisa marah-marah? Amarah yang meledak, tidak terkontrol, dan tanpa interupsi. Amarah yang diwujudkan dengan teriakan penuh emosi, tangis kepedihan, atau malah (naudzubillah..) umpatan tak berkesudahan.
Saya pengen banget lho! Hari ini saya ingiiiiiiiin sekali marah-marah. Tapi apa daya? Ada boss disamping meja. Serius dikejar tenggat waktu tugasnya. Kepala saya mendadak pusing, sesekali menarik nafas panjang, tubuh tiba-tiba terasa dingin, walau hati panas terbakar. Berbuat ini salah, berbuat itu salah.
Ugh!!
Menjelang sore, ajakan 3 rekan kerja saya sambut sebagai pengalih perhatian. Oh, betapa harapan tidak seindah kenyataan. Obrolan dan banyolan khas cewek sesekali mampu menyunggingkan senyum di bibir, tapi hati konsisten dengan kemarahan. Satu usaha, gagal.
Sore itu pula, salah seorang teman, Galuh, mengirim pesan singkat: “luluk, besok malam buka puasa bareng di Dixie scbd Semanggi yuk... -ceritanya gw mau traktir nih- tlg konfirm ya. Thx”. Ajakan yang menyenangkan di tengah suasana hati yang diliputi awan negatif. “Ahh! Senangnya! Kebetulan bsk gw keluar kantor, daerah Casablanca. Jd, bs cepet cabut. Oke, gw dateng, Luh! Thanks yah! ;)”. Sesudahnya, baru deh sadar bahwa saya tidak punya ide apa dan dimana tempat yang namanya ‘Dixie’ itu. Semanggi ya? SCBD itu apa? Ah, itu urusan besok. Urusan sekarang apa? Ggrrrrhhh, masih pengen marah-marah. Usaha kedua, gagal.
Setelah selesai kumpul-kumpul bareng beberapa rekan kerja, 3 dari kami diantar sampai ke suatu tempat perbelanjaan di daerah Cilandak, tempat yang dianggap mudah untuk mencari kendaraan umum untuk pulang. Anda tahu-lah, wanita, dengan barang-barang yang dipajang di depan mata, 5-10 menit menunggu kendaraan umum dapat berubah menjadi 25-30 menit window shopping. Oh tentu saja, saya akan menjawab ‘ya’ jika pikiran Anda sejalan dengan pikiran saya. Sepasang sepatu putih yang manis menggoda saya untuk segera memilikinya. Lebaran tahun ini saya tidak punya sesuatu pun yang baru, mungkin saatnya untuk punya sepatu baru. Ditambah, jadwal saya besok adalah menghadiri lokakarya nasional yang wajib mengenakan segala sesuatu yang bersifat resmi. Singkatnya, saya pulang tidak dengan tangan kosong. Senang? Jelas senang, walau hanya sesaat. Putihnya sepatu tidak sanggup menghapus kelamnya hati. Usaha ketiga, gagal.
Walhasil, disinilah saya malam ini. Mencoba aktifitas lain dalam usaha memutihkan kembali hati. Menyalakan komputer, cari-cari kerjaan menyenangkan berupa... utak-atik foto. Hasilnya, seperti terlihat pada gambar diatas, satu pemandangan indah dari musholla kantor. Saya berani bertaruh tidak ada pemandangan seindah ini dari musholla manapun di Jakarta. Sisi ruangan yang menghadap kiblat pada musholla kami, berdinding kaca. Saya dan teman-teman betah berlama-lama tinggal di musholla selesai sholat dengan pandangan luas membentang seperti ini. Semua terlihat kecil, seperti tak ada artinya. Semua terlihat rapi, seperti ada yang mengatur. Manusia tidak ada artinya bagi Dia yang Maha Mengatur.
Ya, apa daya saya seorang manusia dalam mengatur hati tanpa bantuan dari-Nya...?
---
Malam 23 Ramadhan 1426 Hijriah.