Jendela Luluk
Wednesday, September 14, 2005
Festival Foto.ID
Eh, eh, udah pada tahu belum sih, ada pameran foto yang asli sumpah tujuh turunan keren-keren banget foto-fotonya (duuuh biasa aja dong, Luk) Bertajuk Festival Foto.ID, pameran foto ini digelar di Museum Nasional 31 Agustus-14 September (terakhir hari ini) dan juga diadakan di beberapa tempat: di Plaza Senayan pada 15-19 Agustus (sudah lewat), Galeri Oktagon 16-27 Agustus (sudah lewat), Galeri Lontar 18-28 Agustus (sudah lewat), dan di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA) pada 16-27 Agustus 2005 (sudah lewat). Tema yang diambil pun unik. Penyatuan antara dokumentasi foto perisitiwa bersejarah seputar kemerdekaan RI dengan foto kondisi anak-anak muda jaman sekarang. Oleh karenanya, ada 2 tema yang diusung untuk mewakili 2 generasi yang berbeda.Tema pertama adalah The Future of the Past (Masa Depan Sebuah Masa Lalu). Merupakan dokumentasi peristiwa seputar kemerdekaan Indonesia pada periode 1946 – 1949, yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh besar Indonesia seperti Mendur Bersaudara dan Cas Oorthyus dari Belanda. Karya-karya foto dalam pameran ini merupakan koleksi Kantor Berita Foto IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) dan Nederland Fotomuseum, di Belanda. Foto-foto dari IPPHOS bisa dikatakan sebagai sumber utama referensi visual bangsa Indonesia tentang sejarah keberadaannya. Foto-foto peristiwa sejarah yang mereka hasilkan banyak dimuat dalam buku-buku yang beredar di Indonesia. Cas Oorthuys (1908-1975) adalah pewarta foto lepas kelahiran Leiden, Belanda. Foto-fotonya terkenal akan penekanan pada emosi individu dan keberpihakan pada daya hidup manusia. Cas sempat tinggal lama pada masa Indonesia berjuang merebut kemerdekaannya dan ‘keberpihakannya’ pada Indonesia banyak terlihat pada foto-fotonya. Istilah jadoelnya: Pro-republik. ;) Nah, foto-foto yang mewakili tema ini adalah foto Cas dengan judul Pupil with a blind map of the Indonesian territory (1947) dan Soekarno speaking to the delegates during a session of the Indonesian provisional parliament, the K.N.I. Poesat (1947). Pupil pernah menjadi sampul buku Een Staat in Wording (Sebuah Negara yang Sedang Menjadi) yang diterbitkan Cas sepulang dari Indonesia. Buku reportase foto ini menunjukkan kesiapan RI untuk sejajar dalam kancah pergaulan Internasional. Foto Pupil with a blind map of the Indonesian territory sendiri menggambarkan anak kecil yang membawa peta Indonesia dan tersirat tampak identitasnya sebagai manusia merdeka yang berjalan dengan penuh kebanggaan.Banyak foto-foto Cas lainnya yang dipamerkan di festival foto.ID ini. Yang menurut saya paling dramatis adalah foto saat seorang rakyat biasa menyembah kedua kaki Bung Karno. Seperti di film-film India gitu saat seorang istri harus menyembah kaki mertuanya yang super galak. Karena si jelata membelakangi kamera dan Bung Karno menunduk untuk mencegah si jelata ini menyembahnya, wajah keduanya tidak terlihat. Tapi dari profil pakaian dan auranya saja audiens sudah bisa menebak bahwa dialah Bung Karno. Luar biasa deh si Cas ini. Foto-foto lain dari IPPHOS diantaranya adalah foto saat tokoh-tokoh besar Indonesia seperti Agus Salim & M.Natsir sedang sholat Idul Fitri (ingat kan saat proklamasi dibacakan adalah Bulan Ramadhan?), foto suasana perundingan entah apa antara RI dengan penjajah Belanda, foto antrian kaum wanita untuk nggak jelas juga untuk apa tapi sepertinya untuk melamar pekerjaan, foto saat Bung Karno mengeluarkankan kepalanya dari jendela kereta untuk menyapa rakyatnya (yang ini bagus banget sudut pengambilan fotonya), foto saat delegasi kongres wanita KOWANI menyewa pesawat KLM untuk pergi berkongres, dan masih baaaanyak foto bersejarah-yang-tak-pernah-dipublikasikan-sebelumnya. Kebanyakan adalah foto-foto yang mewakili kondisi rakyat Indonesia pada masa-masa setelah kemerdekaan.Lantas, apa kabar Mendur bersaudara tadi diatas? Karena, kok saya tidak menemukan foto-fotonya. Mungkin kekhilafan mata saya menyebabkan namanya terselip tak terbaca. Belakangan saya menemukan berita yang menyesalkan mengapa Mendur bersaudara mendokumentasikan peristiwa pendeklarasian kemerdekaan Indonesia 17 Agustus ’45 dengan hanya 3 foto. Pasti inget kan, foto saat Bung Karno membaca naskah proklamasi, foto audiens yang berkumpul di lapangan Ikada mendengarkan pembacaan proklamasi dan foto penaikan Sang Saka Merah Putih yang ada Ibu Fatmawati membelakangi kamera. Padahal kan, ya ampun, event kemerdekaan bangsa gitu loh, momen yang sangat berharga, hanya 3 foto???! :((Lanjut.Tema kedua, yang mewakili generasi muda masa kini, bertajuk Understanding Independence (Memahami Kebebasan). Enam juru foto muda yang berkontribusi terhadap pemaknaan mereka tentang kebebasan dan identitas diri adalah Jacqueline Gilbert, Jeroen Hesing, Nancy Lee dari Belanda; serta Keke Tumbuan, Paul Kadarisman, dan Timur Angin dari Indonesia. Sayangnya pada bagian yang menampilkan karya-karya juru foto muda yang penuh warna ini justru kurang ada informasi dasar seperti judul foto, siapa juru fotonya atau di lokasi mana foto tersebut diambil. Kita hanya bisa menebak-nebak foto dari ciri khas masing-masing jepretan sang juru foto.Nancy Lee, yang lahir di Hongkong kini tinggal dan bekerja di Belanda. Karyanya menunjukkan kehidupannya sebagai warga dunia yang selalu berpindah dan mengaburkan batas antar berbagai kebudayaan. Saya menebak foto-foto Nancy Lee pastilah yang ada di satu space super tinggi yang berisi kumpulan foto campuran antara anak bermata sipit dengan rumah-rumah di Belanda. Yang menarik adalah, Nancy senang sekali mengambil sudut pengambilan jauh dari arah atas atau bawah yang membuat gambar lebih dramatis. Cool banget..!Jacqueline Gilbert, menampilkan seri ‘Home & Horizon’ dalam kombinasi saujana alam dan potret untuk menunjukkan sebuah atmosfir yang terbuka lebar tapi sekaligus klaustrofobis (Aduh, bahasa seni banget sih ini). Di festival foto.ID ini Jacque memasang foto-foto lama keluarga terutama kakaknya yang katanya sedang berusaha menemukan identitas diri dan lingkungan tempat dia dibesarkan untuk mengingatkan kita bahwa identitas kita juga berhubungan erat dengan masa lalu. Menengok foto-foto Jacque kita bisa merasakan kekhasan pengambilan foto tipikal foto ‘orang barat’. Jeroen Hesing, juga unik. Dia senang mengabadikan obyek-obyek tidak bergerak yang akrab dengan dirinya sehari-hari. Jeroen merasa waktu meninggalkannya terlalu cepat hingga kadang-kadang dia merasa harus merekonstruksi hidupnya lewat foto. Maka.. handuk yang digantung di tali jemuran, bangku di pinggir jalan, pohon di depan rumah menjadi objek fotonya. Kebanyakan, foto-foto Jeroen juga bersetting malam hari sehingga tampak muram, menurut saya.
Keke Tumbuan, adalah seorang yang sering terlibat dengan teman-temannya dalam pembuatan video musik. Tentu saja tidak sulit menemukan jepretan nan penuh warna darinya yang tersusun rapi memenuhi tembok panjang ruang pameran. Inti dari foto Keke cuma satu kata: dugem anak muda. Kalau saya punya jempol 10, foto-foto Keke Tumbuan nilainya 10 jempol bagi saya. Padahal di FN jempol paling banyak cuma 3 ya..?
Paul Kadarisman. Karya-karyanya banyak berkomentar terhadap kehidupannya sebagai generasi muda Jakarta. Di Festival Foto.ID ini Paul menampilkan koleksi foto saat teman-temannya berkunjung ke Monas. Monas! Yang orang Jakarta juga udah bosen kali sama tampangnya. Tapi yang ini jadi keren booo... Kepiawaian Paul memainkan komposisi dan sudut-sudut pengambilan gambar seperti mematahkan teknik njlimet dunia fotografi. Dari Paul saya bisa menarik pelajaran: nggak perlu jiper dengan segala teknik foto memfoto, pokoknya moto! Ayo moto!
Timur Angin, yang ssst.. ternyata dia anaknya SGA yang kondang itu, menunjukkan ketertarikannya pada pencarian dan kegelisahan yang dialami generasinya. Timur banyak terlibat dalam liputan untuk media massa, maupun still photo film layar lebar. Jangan dikira pengen moto shooting film cuma bilang ke sutradara: “Permisi pak, saya mau moto bintang utamanya..!” atau “Pak, boleh ya saya foto bapak lagi shooting film...” kalau nggak mau langsung diusir sama para kru film. Mas Timur ini bahkan sampai 2-3 bulan mengintili proses pembuatan film GIE untuk mendapatkan momen dan objek bagus yang diinginkan. Sekalian gaul dan melebarkan jaringan juga kan? ;)
Ada satu foto menarik dari Timur yang memperlihatkan adik kelasnya di IKJ, duduk santai menyilang kaki, diatas bebek merah, mengenakan kaca mata hitam dengan piercing besar menghiasai kupingnya. Di belakangnya ada mural yang menggambarkan teriakan seorang pemuda yang tidak bermata. Cerminan generasi yang -menurut Timur- tanpa batas, tanpa beban untuk berkarya, cuek dengan peraturan, bebas merdeka & nggak perlu mikir yang rumit.
Nah, khusus untuk karya-karya Timur, digunakan media neon box agar gambar yang dipamerkan tetap cemerlang seperti saat dia menatap fotonya pada monitor laptopnya. Satu contoh dari Timur yang menganut kebebasan untuk menciptakan tampilan foto yang (sumpah) keren karena warna-warna yang ditampilkan jadi “cling”.
Akhir kata, Festival Foto.ID yang diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Budaya Visual Oktagon ini benar-benar menunjukkan keragaman khasanah fotografi di Indonesia. *halah bahasamu, Luk..* Baru kali ini saya mengujungi pameran foto yang konsep dan materi pamerannya menarik, dan ‘gaul’. Apa mungkin saya yang ketinggalan informasi melulu ya? Kurang ‘gaul’. :p
----
Tulisan dibuat dari berbagai sumber: leaflet pameran, publikasi via milis, publikasi pada surat kabar cetak maupun internet, dan artikel lepas lainnya.
Foto-foto liputan diatas yang memuat foto-foto pada festival foto.ID dipasang tanpa seizin juru fotonya. Mudah-mudahan berkenan, karena dipasang tidak untuk tujuan komersial.
Archives
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
December 2006
February 2007
May 2007
March 2008
April 2008
May 2008
June 2008
November 2008
January 2009
May 2009
June 2009
December 2009
November 2010
Subscribe to Posts [Atom]