Jendela Luluk

Tuesday, November 02, 2004

 

Naik Sado Koeliling Menteng



Halo semua! Dengan penuh suka cita, kali ini saya tuliskan kegiatan saya dan teman-teman pada akhir minggu lalu. Kerinci? Belum-lah. Itu nanti. Entah saya jadi pergi atau tidak. Belum dapet lampu ijo soalnya :p

Minggu sore lalu saya dan 2 teman ikut serta dalam sebuah acara ngabuburit keliling daerah Menteng yang terkenal dengan keelitannya. Ngapain? Yaah, Jakarta, tanpa kita sadari, ternyata belum begitu kita (terutama saya) ketahui seluk beluknya. Entah tempat tinggal saya yang nun jauh dari pusat kota ataukah saya yang memang kuper tidak pernah menjelajahi Kota Jakarta, membuat saya cukup nyaman atawa betah nge-jogrog (Bahasa Indonesianya apa ya?) di Selatan Jakarta dan... peduli apa dengan pusat kota?

Pernah dengar ‘Sahabat Museum’, suatu komunitas pemerhati tempat-tempat dan gedung/bangunan bersejarah..? Dari Wida dan Ai, saya pernah dengar waktu mereka ikutan Plesiran Tempo Doeloe ke Kampung Cina. Demikian pula dengan acara (kalau tidak salah) jalan-jalan ke Kota Bogor untuk menelusuri sejarah Kebun Raya dan Istana Negara-nya. Dan kali ini, Sahabat Museum mengadakan acara menelusuri daerah Menteng sambil ngabuburit menunggu beduk berbuka puasa, dengan mengendarai….percaya atau tidak, sado! Ya, kita akan mengelilingi daerah Menteng dengan mengendarai ‘sado’ atawa kereta ditarik kuda, dan itulah makanya acara ini disebut NSKM (Naik Sado Koeliling Menteng)

Acara ini pertama saya curi tahu dari Ai, rekan kerja, yang bergabung dalam milisnya Sahabat Museum. Lantas dia mengajak saya untuk ikut acara ini dan sekalian saja bergabung dalam milisnya. Para ‘aktivis’ Sahabat Museum cukup membuat saya terkesan dengan memberikan respon yang hangat dan sangat antusias terhadap suksesnya suatu acara. Heran juga, hari gini ada ya yang rela ber-‘repot-repot ria’ mengurus ini itu, yang pastinya banyak menyita waktu, tenaga dan biaya. Salut deh! (“,)b

Maka jadilah. Saya bersama Ai, dan Popy pada pukul 3 Minggu sore itu, berkumpul di depan Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi bersama dengan peserta yang lain. Dari daftar yang disebarkan di milis, tercatat kurang lebih ada 200 peserta yang berniat keliling Menteng. Disana saya bertemu dengan Edi, salah satu peserta waktu jalan ke Taman Nasional Ujung Kulon, yang Alhamdulillah tidak mengenakan kaos resmi TNUK yang saya pakai. Dresscode acara kali ini adalah pakaian berwarna hijau, dan saya tidak punya pakaian berwarna hijau selain kaos TNUK itu! Yaah, walaupun cuma kaos tapi bangga juga sih ada gambar kepala badak besar bercula satu-nya. Hehe.. :p

Setelah dilakukan daftar ulang, peserta dikelompokkan dengan didampingi oleh satu asdos (asisten sados) yang akan menemani disepanjang perjalanan kami. Asdos kami kali ini adalah Mbak Susi, yang saya nilai sangat pengertian karena rela menunggu saya yang selalu datang paling akhir karena terlalu lama potret-potret (thanks ya, mbak!). Sambil berjalan dari halaman Museum Perumusan naskah Proklamasi menuju Taman Suropati tempat kita akan menaiki sado, beliau memberikan beberapa penjelasan mengenai rute dan hal-hal menarik yang dapat kami jumpai sepanjang perjalanan menelusuri daerah Menteng.

Oh ya, Museum Perumusan Naskah Proklamasi merupakan sebuah rumah bergaya “Menteng banget” yang memiliki peran yang sangat penting dalam proses kemerdekaan INDONESIA. Di rumah inilah para tokoh nasional merumuskan naskah proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno pada hari Jumat 17 Agustus 1945, bertepatan dengan bulan puasa. Inilah konon, alasan mengapa Sahabat Museum mengemas acara NSKM ini di bulan puasa. ya kan, Mas Adep? ;)

Gedung ini didirikan sekitar pertengahan tahun 1920 oleh Asuransi Nilmij dengan arsitektur Eropa pada waktu itu, luas tanahnya 4.380 m2, sedangkan luas bangunan 1.645,31 m2. Gedung ini dihuni beberapa penghuni yang berbeda. Tahun 1931, pemiliknya atas nama PT. Asuransi Jiwasraya. Sebelum pecah perang Pasifik, bangunan ini dipakai sebagai gedung British Council General, dan ini berlangsung sampai Jepang menduduki Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang gedung ini menjadi tempat kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda beserta keluarganya. Beliau adalah kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, gedung ini tetap menjadi tempat tinggal Maeda, sampai sekutu mendarat di Indonesia bulan September 1945. Selanjutnya gedung ini dikuasai dan digunakan sebagai Markas Tentara Inggris.



Wuh, sejarah… sejarah… :D
Dilanjutkan ya?

Taman Suropati. Merupakan sebuah taman yang doeloenja bernama Burgermeesterbisschopplein, nama taman (plein) ini diambil dari nama seorang walikota Batavia yang bernama Bisschop. Taman ini boleh dibilang merupakan ruang terbuka yang menyegarkan di tengah-tengah Menteng. Menurut Mbak Aliza, peserta NSKM yang sudah lama bermukim di Menteng (kalau tidak salah), Taman Suropati ini dulunya merupakan tempat diadakannya pertandingan sepatu roda dan disepanjang tepi taman banyak dijumpai pedagang lukisan yang bagus-bagus untuk ditawarkan kepada para pengunjung taman. Sedianya, di area ini panitia akan menyelenggarakan permainan tempo doeloe, yang berjudul: “Permaenan Djadoel”, yang mungkin karena keterbatasan waktu menjadi tertunda untuk kesempatan lain.

Nah, Di arah selatan dari taman ini, terdapat Gedung Bappenas (sejak 1967) yang doeloenja bernama Vrijmetselaarloge, dibangun pada sekitar tahun 1925. Loge ini adalah rumah pertemuan para vrijmetselaar atau freemasons (anggota perhimpunan yang memperjuangkan persaudaraan serta kebebasan, konon saking kuatnya himpunan ini -malahan sudah seperti agama- sempat membuat cemas pemerintah Hindia Belanda saat itu). Sebelumnya mereka menempati sebuah gedung (kini Gedung Kimia Farma) yang terletak di Jl. Budi Utomo (doeloenja Vrijmetselaarweg), dekat Gedung Kesenian Jakarta (Stadschouwburg).

Di sebelah kanan gedung ini terdapat sebuah gereja tua yang doeloenja bernama Nassaukerk, dibangun pada tahun 1936. Disebut Nassaukerk karena terletak di pojok sudut Nassau Boulevard (kini Jl. Imam Bonjol). Gereja ini dirancang oleh seorang arsitek bernama Ir. W. E. Burhoven Jaspers yang juga merancang Hotel des Indes, sebuah hotel cantik yang terletak di Jl. Gajah Mada (doeloenja Molenvliet West), namun sudah dirobohkan pada tahun 1971 dan lokasinya digantikan dengan pertokoan Duta Merlin. Sungguh sayang memang. Satu hal yang paling dikenang di hotel ini adalah hidangan rijstafel-nya.

Setelah menunggu sekitar 10 menit, ah! Itu dia! Iring-iringan sado menuju Taman Suropati, yang menurut Mbak Susi sang asdos, panitia memesan sebanyak 55 sado! Gila kan? Terbayang nggak iring-iringan 55 sado membelah jalan utama Jakarta (nggak utama banget sih..) di daerah Menteng pula! Hebat euy, SM. Sementara menunggu sado diberi nomer oleh panitia, saya kembali membaca hand out yang dibagikan panitia.

Belajar sejarah lagiii... :D
Kali ini tentang sado.

Sampai akhir abad ke-19, kereta kuda boleh disebut raja jalanan di Betawi. Kuda merupakan sarana utama dari angkutan umum di Ibu Kota Hindia Belanda itu. Di setiap jalan, yang terlihat hanyalah kereta (ditarik) kuda.

Ada beberapa jenis kereta kuda. Yang mungkin paling kuno, adalah kahar. Ini adalah kereta beroda dua yang ditarik seekor kuda. Untuk perjalanan jauh, baru ditarik paling sedikit dua ekor kuda. Kahar yang semula dimiliki oleh orang kaya, atau para ambtenaar itu belakangan dikomersialkan sebagai sarana angkutan umum. Siapa saja yang mau membayar, dapat menaikinya.

Komersialisasi kahar akhirnya melahirkan trem kuda, yang mulai beroperasi di Betawi pada tahun 1869. Trem kuda merupakan kereta panjang yang mampu menampung sekitar 40 penumpang, berjalan di atas rel dan ditarik oleh tiga sampai empat ekor kuda. Rute trem kuda terbatas: Berawal dari Kota Intan (dekat Kali Besar) menuju Harmonie, kemudian bercabang dua: yang satu ke daerah Tanah Abang, dan yang satu lagi ke Jatinegara (Meester Cornelis), melalui Pasar Baru (Passer Baroe), Lapangan Banteng (Waterlooplein), Pasar Senen dan Kramat. Trem kuda banyak dipilih oleh penduduk, karena ongkosnya lebih murah dibanding kahar.

Selain kahar, kereta kuda yang memiliki roda dua adalah dos-a-dos, yang menurut lidah orang Betawi disebut sado. Sesuai namanya, dos-a-dos (beradu punggung), kereta ini dapat menampung empat penumpang (termasuk kusir) yang duduk beradu punggung: dua di depan dan dua di belakang.

Ada lagi kereta kuda yang disebut delman, sesuai nama penemunya: tuan Deelman. Inilah kereta kuda yang dimodifikasi agar lebih praktis, ringan dan cepat. Kereta kuda yang agak mewah dengan memakai penutup tenda disebut ebro, atau dalam sebutan penduduk embro. Kereta kuda ini dimiliki oleh EBRO (Eerste Bataviasche Rijtug Onderneming), perusahaan penyewaan kereta.

Memasuki abad ke-20, kuda sebagai raja jalanan digusur oleh fiets atau velocipede alias kereta angin, yang belakangan dikenal dengan nama sepeda. Raja jalanan yang baru itu membuat banyak orang jengkel. Pengendara fiets kadang-kadang sangat ceroboh: memacu kendaraan itu seenaknya tanpa melihat kiri dan kanan, bahkan saat keluar dari gang masuk jalan besar. Akibatnya sering terjadi tabrakan dengan dos-a-dos, seperti pernah diberitakan koran Bintang Betawi.

Tabrakan di jalan Kramat itu akibat kesalahan pengendara fiets. Tapi karena fiets-nya hancur, ia meminta kerugian pada tukang dos-a-dos. Akhirnya tukang dos-a-dos yang tiada salah itu ditangkap polisi, dihukum dan harus mengganti fiets yang hancur itu.

(Sumber 'Sado' : Adit SH, sejarawan dan pengamat sosial, dikutip dari kolom: Betawi Seabad Silam yang dimuat di harian WARTA KOTA - Jumat 31 Januari 2003).

Nah, setelah semua sado siap, peserta boleh menaiki sado sesuai dengan nomor yang sudah ditetapkan. Saya dan teman-teman mendapatkan sado nomor 12 yang menurut pak kusir-nya ditarik oleh ‘si Roy’. Teman satu kelompok yang lain menaiki sado nomor 13 dibelakang kami yang ditarik oleh ‘si Jaka’ yang usianya baru 1,5 tahun! “Wah, nggak kasihan tuh pak?” Sambil mengusap-ngusap kudanya, pak kusir nomor 13 dengan bangga menjelaskan, “neng, kalo kagak dibiasain narik sado, badannya jadi kagak kuat ntaran”. “Oooh..”, serempak semua manggut-manggut. “Lagian kuda malah senengnya lari-lari begini kok”, sahut Mbak Emma, teman satu sado yang langsung ikut membelai-belai kepala si Jaka yang sudah sedikit basah akibat keringat.

Tak lama kemudian, setelah semua peserta naik, kami berangkat dimulai dari lampu merah sebelah barat Taman Suropati. Seketika langsung saja teringat Mbak Susi sang asdos yang mengingatkan bahwa sado dimaklumkan untuk menerabas lampu merah karena yaaah... memang sudah kebiasaannya yang demikian. “Nanti kalau diberhentikan polisi, tunjuk saja saya di depan” katanya, dengan mantap. Saaaah, panitia... panitia... (tob dah!)

Perjalanan dimulai dengan melintasi arah depan Jl. Surabaya (Soerabajaweg), kemudian melewati rumah kediaman Bung Hatta, tokoh proklamator dan Bapak Koperasi Indonesia, di Jl. Diponegoro no. 57. Rumah kelahiran Bung Hatta terdapat di Bukittinggi yang rencananya Sahabat Museum akan kunjungi pada tanggal 17 Desember 2004 dalam acara “Plesiran Tempo Doeloe: Ranah Minang” yang akan diadakan pada tanggal 16-19 Desember 2004. (Hebat kan, sampai ke minang juga dikejar tu rumahnya Bung Hatta..) *mupeng*

Kemudian belok kiri ke Jl. Pegangsaan Barat (doeloenja Pegangsaan West) di sebelah kanan, tampak sebuah bioskop djadoel, Megaria 21 (doeloenja Metropole), meski milik jaringan 21, tetapi bioskop ini pamornya makin lama makin memudar. Pada masa kejayaannya doeloe, bioskop ini merupakan tempat plesiran kawula muda, namun kini gengsinya semakin sirna ditelan masa. Sahabat Museum rencananya akan bernostalgia dengan mencari tahu tentang riwayat bioskop tempo doeloe sekalian memutar film tempo doeloe, yang rencananya akan diberi nama: “Nonton Bioscoop” (Sip! Sip!)

Di sebelah kiri jalan, tepatnya Jl. Pegangsaan Barat no.16, terdapat sebuah rumah djadoel milik keluarga Soedarpo Sastrosatomo. Rumah yang terawat baik dan cantik ini merupakan salah satu aset Menteng djadoel yang mengagumkan.

Perjalanan dilanjutkan ke Jl. Moh Yamin, jalan ini doeloenja bernama Madoeraweg lalu belok kanan memasuki Jl. Teuku Cik Ditiro yang doeloenja bernama Oud Gondangdiaweg, terus lurus melintasi Jl. RP. Soeroso (Raden Panji Soeroso) seorang pahlawan nasional dari partai Parindra (Partai Indonesia Raya).

Di sebelah kanan (seberang jalan) terlihat Kantor Pos Cikini. Kantor pos ini dibuat di lahan yang sulit, bergaya Art Deco. Supaya tidak terlalu masif, si perencana seakan-akan memisahkan bangunan ini menjadi dua bangunan yang simetris, dimana penghubungnya diperkuat dengan dua menara yang sengaja agak mundur supaya tidak terlalu dominan. Sayang kini nasibnya sudah mau dijual. Semoga calon pembeli gedung ini bisa menjaga keutuhan bangunan aslinya.

Sesampainya lampu merah, kita belok kiri ke Mesjid Cut Mutiah (Gedong Boplo). Boplo adalah akronim untuk Bouwploeg. Bangunan ini tidak terlihat seperti mesjid pada umumnya karena memang pada awalnya dibangun untuk difungsikan sebagai kantor developer, bukan mesjid. Kantor ini didirikan oleh P.A.J. Moojen. Ia dan perusahaan developer N.V. de Bouwploeg inilah yang membangun kota satelit Menteng. Pada tahun 1948, Belanda membangun kota satelit baru di bagian selatan kota Jakarta, Kebayoran Baru, kawasan ini dibangun oleh CSW (Centrale Stichting Wedeopbureaw). Kini CSW tinggal kenangan, tak banyak yang tahu dimana letak persis kantornya.

Dari Mesjid Cut Mutiah ini, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki mengunjungi Gedung eks Imigrasi Jakarta Pusat (doeloenja Bataviasche Kunstkring). Bangunan ini dahulu berfungsi sebagai gedung kesenian yang megah, dan merupakan “pintu masuk” ke kawasan Menteng, dibangun pada tahun 1913 oleh arsitek yang juga membangun Gedong Boplo. Di gedung Bataviasche Kunstkring ini doeloenja pernah dipamerkan lukisan-lukisan karya pelukis kondang dunia, seperti: Pablo Picasso dan Vincent Van Gogh. Sayang gedung ini sekarang terbengkalai tak terawat.

Jl. Teuku Umar merupakan jalan utama yang cukup panjang, yang membelah bagian tengah Menteng. Hal yang menarik dari jalan ini adalah namanya, doeloe bernama Van Heutsz Boulevard, nama seorang jenderal Belanda yang berperang di Aceh. Pada masa pendudukan Hindia Belanda, patung Van Heutsz juga dipasang di taman yang lokasinya sekarang menjadi Taman Cut Mutia. Setelah kemerdekaan patung ini dihancurkan oleh para pejuang kemerdekaan dan semua nama jalan yang berbau Belanda diganti dengan nama pahlawan Indonesia, tetapi nama jalan yang berasal dari nama kota, banyak yang dipertahankan.

Setelah melewati kembali Taman Suropati, sado kami tidak berhenti dan terus lurus menuju Museum Perumusan Naskah Proklamasi, memasuki halamannya dan hup! Tepat didepan pintu depan gedung kami turun. Gile! Ampe depan pintu tu sado! Hehe.. :p Di halaman belakang museum sudah cukup banyak peserta dan panitia yang sibuk mengisi dan membagikan lembar evaluasi. Menjelang pukul setengah enam sore, Sang Ketua Sahabat Museum, Mas Adep, memberikan sambutannya. Diteruskan dengan penyambutan oleh Bapak Nunus, seorang arkeolog-sejarawan-pemerhati seni & budaya (atau sejenisnya), yang dengan senang hati memaparkan kegembiraannya terhadap penyelenggaraan acara ini. Bahkan katanya, melihat antusiame para peserta sampai ke lapisan bawah (maksud lapisan bawah apa ya?), acara NSKM ini bisa masuk kedalam program 100 hari-nya Pak SBY lho! (Berlebihan ah, pak..) hehe..

Acara kemudian disambung oleh salah seorang panitia (aduh, siapa itu namanya?) yang memberikan uraian mengenai sado, seperti yang tertera dalam hand out peserta. Panitia yang lain sibuk membagikan penganan untuk berbuka: teh manis hangat, kue-kue, kolak, satu gelas air mineral dan satu bungkus nasi tegal. Dan, ah! Pas sekali, setalah semua sudah terbagi, terdengar Adzan Maghrib berkumandang. Alhamdulillah, lapar dan dahaga hilang seketika, tapi kali ini dibarengi dengan perasaan senang karena berkumpul dan terselesaikannya acara NSKM dengan sukses. Eh, sukses kan ya, Mas Adep? ;)

Kalau tidak keberatan (dan mudah-mudahan tidak), masih ada lagi penggalan materi sejarah daerah Menteng dalam ‘special gift’ NSKM.
(Ha? Masih ada lagi?)

Yup! Belajar sejarah lagi… :D

Menteng. Sebuah nama yang sejak dulu menyiratkan makna elite baik bagi penghuni di masa dekade kedua abad ke-20 ketika kawasan ini mulai dibangun hingga sekarang pada awal abad ke-21. Memang sudah sejak awal dibangun, kawasan ini dapat dikatakan sebagai kota satelit pertama di Batavia, bahkan di Hindia Belanda. Sebuah kawasan permukiman yang dirancang dengan standar ruang kota sangat baik. Lengkap dengan segala fasilitas umum yang tersebar di dalam maupun pinggiran kawasan ini.

Berbeda dari real estat yang telah menjamur di seputar Jabotabek, kawasan Menteng dirancang dengan konsep yang sedang hangat di seluruh dunia pada masa itu berupa kota taman tropis. Yang disebut Menteng sebenarnya meliputi dua wilayah, yaitu Nieuw-Gondangdia dan Menteng. Awalnya, pihak pengembang swasta (De Bouwploeg) yang ingin melakukan pembangunan ini, bekerja sama dengan Kotapraja (Gemeente) Batavia dalam proses pembebasan tanah dan perencanaan sistem utilitas maupun infrastruktur kota.

Rancangan Menteng-I (1910) yang dibuat oleh PAJ Moojen ini lebih mendominasi wilayah utara (Nieuw-Gondangdia), dimulai di area Taman Cut Meutia saat ini hingga Sungai Gresik. Banyak terdapat jalan berbentuk radial sehingga menimbulkan persimpangan yang tak terduga. Di seputar Taman Cut Meutia inilah yang disebut gerbang real estat Menteng bila kita datang dari arah pusat kota. Di sinilah berdiri Gedung Bouwploeg (Masjid Cut Meutia) dan Gedung Kunstkring (eks Gedung Imigrasi) yang menjadikannya sebagai tengaran area masuk kawasan Menteng. Area ini juga dilengkapi dengan deretan lansekap (pohon palem raja) dengan disambut sebuah urban sculpture berupa monumen bergaya art-deco tepat di taman depan Gedung Bouwploeg. Saat ini monumen tersebut sudah tidak ada dan suasana gerbangnya pun mulai hilang karena gedung-gedung megah itu sudah tidak terlihat jelas tertutup pepohonan yang tidak tertata.

Sebagai perluasan dibuatlah rancangan Menteng-II (1918) oleh FJ Kubatz, pergantian perancang kota ini pun menghasilkan lay-out masterplan yang berbeda dengan rancangan pertama. Jalan berbentuk lurus dengan persimpangan tegak lurus lebih banyak mendominasi rancangan kedua ini yang meliputi wilayah selatan dari Sungai Gresik hingga Kali Malang (Bandjir Kanaal).

Jantung kawasan Menteng ini terdapat dalam rancangan perluasan ini yang terletak di Burgemeester Bisschopplein (Taman Surapati). Taman ini merupakan pertemuan dua bulevar utama kawasan ini, Utara-Selatan (Van Heutsz Boulevard- Jl. Teuku Umar) dan Timur (Oranje Boulevard- Jl. Diponegoro)-Barat (Nassau Boulevard- Jl.Imam Bonjol).

Perluasan terakhir (1934) adalah wilayah Selatan Kali Malang yang disebut Nieuw Menteng (area Guntur). Di sini lebih diutamakan untuk perumahan sederhana.

(Sumber 'Menteng': Aditya Fitrianto, arsitek, pemerhati jejak pusaka kota dan arsitektur, dikutip dari artikel Real Estat Menteng dalam Dilema yang dimuat di harian KOMPAS Minggu, 11 Agustus 2002)



Sumber Utama : Sebagian besar berasal dari materi NSKM Sahabat Museum.
Teriring rasa terimakasih kepada Mas Adep yang telah mengizinkan saya menggunakan materinya dan mempublikasikannya di sini. Jadi lebih berbobot lho! ;)

Bravo SM! (",)v


Comments:
Panjang kali postingnya, Luk ;-)
 
hehe.. :p kepanjangan yah? mumpung ada bahannya,Zul.
btw, ujiannya lancar kan??
Bukan 'Zul' namanya kalo gak bisa. ;)
 
posting yg bisa jadi referensi sambil blajar sejarah :)
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

Archives

July 2004   August 2004   September 2004   October 2004   November 2004   December 2004   January 2005   February 2005   March 2005   April 2005   May 2005   June 2005   July 2005   August 2005   September 2005   October 2005   November 2005   December 2005   February 2006   March 2006   April 2006   May 2006   December 2006   February 2007   May 2007   March 2008   April 2008   May 2008   June 2008   November 2008   January 2009   May 2009   June 2009   December 2009   November 2010  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]