Jendela Luluk

Tuesday, November 16, 2004

 

Menjadi Ahli Ibadah atau Ahli Ilmu?? : Memahami Ilmu Fiqih



Suatu hari, di depan para sahabatnya, Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Rasulullah Saw. bercerita tentang sebuah obrolan antara setan dan iblis.

Setan : Wahai, Tuan Iblis! Aku heran sekali.
Iblis : Apa Setan?
Setan : Tuan begitu gembira jika seorang ulama atau orang alim meninggal, sedangkan tuan cool saja kalau ahli ibadah meninggal?
(Tuan Iblis diam saja)
Setan : Apakah karena Tuan gagal membujuk si alim menjadi kufur, tapi di lain tempat Tuan berhasil menggoda si ahli ibadah?
(Tuan Iblis masih tampak diam. Ia seolah malas memberikan jawaban. Jadi, ia membiarkan anak buahnya menunggu sejenak, lalu..)
Iblis : Sebenarnya, aku tidak ingin banyak bicara kepada kalian sekarang. Kalian para setan, coba pergi sana, temui seorang ahli ibadah!
(Si setan hanya bisa melongo)
Iblis : CEPAT CARI!!!
(Para setan mulai berterbangan. Siuuut… siuuut… siuuut…)

Setan : Nah itu dia, si ahli ibadah! *nunjuk-nunjuk seorang ahli ibadah* Kita godain yuk..!
Setan : Hai, hamba Allah yang ahli ibadah! Apakah menurutmu, Tuhanmu Allah itu mampu menciptakan dunia dalam lubang telur?
Ahli Ibadah : Sungguh, aku tak tahu pasti tentang itu.

(Si setan kembali menemui Tuan Iblis)
Iblis : Kau lihat? Kau lihat? Sang ahli ibadah telah menjadi kufur kepada Tuhannya. Apa yang tidak mungkin bagi Allah? Jangankan hanya menciptakan sebuah dunia dalam lubang telur, yang lebih dari itu pun tidak ada susahnya buat Allah.

(Kawanan setan lalu mendatangi si alim ...)
Setan : Hai, hamba Allah yang berilmu, mampukah Tuhanmu menciptakan dunia dalam lubang telur?
Si alim : Tentu saja bisa, tinggal Kun Fayakuunu, maka... Jadilah! Tidak ada yang mustahil!
Setan : Aaarrrrrgggh! *langsung ambil langkah seribu*


Dan oleh sebab itu pulalah, dalam sebuah haditsnya, Rasulullah SAW mengatakan, “Seorang ahli fiqh, jauh lebih berbahaya bagi setan daripada seribu ahli ibadah.” (HR Ibnu Abbas)

Karena itu, bukan main-main, para ahli ilmu mendapat tempat yang begitu khusus, di dunia, juga di sisi Allah. “Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl:16)

Imam Maliki, seorang imam yang termasuk kedalam 4 ‘pendiri’ mahzab dalam ilmu Fiqih (ingat Mahzab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dong..?), dikenal sebagai seorang yang sangat hati-hati, bahkan ketika ia belajar dan berguru. Semua itu tidak lain karena ia tidak ingin belajar sesuatu yang salah dan kemudian menjadi kesalahan itu sendiri.

Untuk menentukan guru, beliau menentukan 4 kriteria yang baik pula kita contoh. “Janganlah mengambil ilmu dari 4 golongan orang. Pertama, jangan berguru atau mengambil ilmu dari orang yang berperangai buruk atau jahat. Kedua, jangan pula berguru dari seorang ahli hawa nafsu dan ahli bid’ah. Ketiga, jangan berguru kepada orang yang suka berdusta pada urusan hadits. Keempat, jangan sekali-kali berguru pada orang yang suka berbuat kebaikan, suka mengerjakan ibadah yang utama, tapi ia mengerjakan semua itu tidak dengan pengetahuan dan ilmu yang mendalam.”

Nah, membaca hal ini, saya jadi mencoba melihat apa-apa yang saya telah lakukan belakangan ini. Kemarin sewaktu bersilaturahmi ke rumah Eyang (jauh) di daerah Kalisari, dan bercengkrama akrab dengan keluarga besarnya, sempat terjadi diskusi menarik. Sewaktu saya mengisahkan kegiatan i’tikaf saya dan teman-teman, beliau berpendapat bahwa yang saya lakukan bukanlah i’tikaf melainkan mabit (bermalam) di masjid, sebab i’tikaf seharusnya berdiam diri di masjid selama 24 jam penuh. Salah seorang tante saya, ikut pula melontarkan topik puasa sunnah 6 hari di Bulan Syawal yang... apakah mesti dilakukan 6 hari tanpa putus mengingat ‘katanya’ lebih baik dilakukan pada 2 sampai dengan 7 Syawal?

Well.. Well.. Sesuatu seperti menusuk hati saya. Damn! Ngapain melakukan semua itu tapi hanya berdasarkan ‘katanya’ saja? Melihat dasar ilmu fiqihnya saja mungkin terakhir kali pada waktu mengaji bersama teman-teman atau sewaktu duduk di bangku kuliah. Yang baca posting saya kali ini, mengaku saja deh, coba kapan terakhir kali buka buku atau artikel yang berkaitan dengan ilmu fiqih?? :p *gaya nantangin* hehe..

Hmm.. Ayo Luluk, buka buku Fiqihnya!!
--
Baik, saya coba lihat 2 hal:

1. I’tikaf
Adalah berdiam di masjid, dengan persyaratan tertentu dan dengan niat beribadah, ber-tafakur (tentang hidup yang telah dan masih akan dijalani) dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Telah diriwayatkan bahwa Nabi Saw. Biasa beri’tikaf sebanyak 10 hari pada setiap Bulan Ramadhan.

Para ulama sepakat bahwa hukum i’tikaf adalah sunnah, kecuali apabila seseorang mewajibkannya atas dirinya sendiri, dengan mengucapkan nadzar. Tidak sah i’tikaf kecuali yang dilakukan oleh seorang muslim yang mumayyiz (sedikitnya berusia 6-7 tahun sehingga sudah mampu membedakan antara yang benar dan salah), suci dari hadats besar, dan (untuk perempuan) suci dari haid dan nifas.

Seperti ibadah-ibadah lainnya, i’tikaf memerlukan niat, yaitu untuk berdiam di masjid untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Orang yang beri’tikaf sebaiknya dalam keadaan berpuasa, walaupun hal itu tidak merupakan keharusan. Dianjurkan pula agar mengisi waktu i’tikafnya dengan pelbagai macam ibadah, seperti shalat-shalat sunnah, tilawah Al-Qur’an atau menghafal ayat-ayat-Nya, mempelajari ilmu yang bermanfaat, berdzikir dan beristighfar serta menjauhkan diri dari ucapan dan perbuatan sia-sia.

Hal-hal yang membatalkan i’tikaf :
1.Keluar dari masjid secara sengaja tanpa alasan yang kuat
2.Hilangnya kesadaran akal karena gila atau mabuk
3.Haid dan Nifas bagi perempuan
4.Melakukan jima’ atau keluar mani disebabkan mubasyarah (bersentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan perempuan), baik dengan mencium, memeluk dan sebagainya.


2. Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawal

Abu Ayyub Al-Anshari r.a. merawikan sabda Nabi Saw :
“Barangsiapa berpuasa bulan Ramadhan, kemudian diikutinya dengan 6 hari puasa di Bulan Syawal, maka seolah-olah ia berpuasa sepanjang masa.” (HR Muslim).

Yang lebih afdhal, menurut Mahzab Syafi’i, melaksanakannya secara berturut-turut langsung setelah Hari Raya Idul Fitri (mulai tanggal 2 sampai dengan 7 Syawal). Sedangkan menurut Ahmad (Mahzab Hambali) tidak harus berturut-turut dan tidak pula Bulan Syawal. Yang penting, keenam hari tersebut masih di Bulan Syawal.

Walaupun demikian, Malik (atau Mahzab Maliki) dalam Al-Muwath-tha’, dan sebagian penganut Mahzab Hanafi, tidak menyukai puasa enam hari di Bulan syawal. Mungkin mereka tidak menshahihkan hadits tersebut diatas. (An-Nawawi, Al-Majmu’ VI/348)

--

Lalu, bingung..? Hehe..
Mahzab-mahzab fiqih yang ada bukanlah sebuah sekte dan bukan pula ‘agama’ dalam agama. Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali bukanlah aliran-aliran, melainkan sebuah sudut pandang terhadap islamic jurisprudence (weeh, bahasanya) atau aplikasi atas hukum. Mahzab-mahzab ini hanya berbeda pada tingkatan furu’ al fiqh, penerapan hukum saja dan bukan pada sumber hukumnya. Sumber hukum keempat mahzab sama, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.

Makna lain fiqih adalah pemahaman. Artinya, memahami adalah proses yang paling penting dalam pendalaman Ilmu Fiqih. Oleh karena itu, jika ada seorang diantara pengikut-pengikut mahzab tersebut menjadi begitu ‘fanatik’, taklid, lalu anti dengan mahzab dan sudut pandang lain, perlu dipertanyakan sejauh mana pemahamannya. Untuk itu, Dr.Yusuf Qardhawi pernah berkata: “Fiqih secara lughawi (atau bahasa) bermakna pemahaman yang teliti, kecerdasan dan pengertian yang baik.”

Untuk itu, mari kita pahami ilmu fiqih yang menjadi dasar ilmu bagi kaum muslim dalam beribadah, jangan hanya menjalankan ibadah tanpa disertai ilmu dan pemahamannya.

Nah. Saya, tentu saja, tidak mau jadi ahli ibadah yang tidak berilmu. Anda juga tidak mau kan? :)

Wallahu a’lam bishowab.


Sumber:
Why Not? Fiqih itu Asyik. Herry Nurdin. Mizan. 2004.
Fiqih Praktis (Buku Pertama). Muhammad Bagir Al-Habsyi. Mizan. 2002.


~ehm... jenggot mulai numbuh nih, kayak pak ustadz, huehehe.. :p

Comments:
pantesan, tidurnya orang alim lebih ditakuti oleh syetan dibandingkan dengan ibadahnya sorang abid ;)
 
geekgirl:
maka itu ada orang2 yg tidak melakukan ritual ibadah tertentu karena orang itu tidak/belum memperoleh pengetahuan yang mendalam tentangnya. orang ini lebih baik tidak melakukannya daripada melakukannya tanpa pengetahuan (hanya ikut2 orang lain).

ikut nimbrung ajah ;)
 
Barangkali artikel ahli ibadah berikut juga berguna bagi rekan rekan >> Ahli Ibadah ?
 

Yabancı konuşanların sex yaparken türkçe altyazılı pornolarını izlemek çok keyif verir her zaman.
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

Archives

July 2004   August 2004   September 2004   October 2004   November 2004   December 2004   January 2005   February 2005   March 2005   April 2005   May 2005   June 2005   July 2005   August 2005   September 2005   October 2005   November 2005   December 2005   February 2006   March 2006   April 2006   May 2006   December 2006   February 2007   May 2007   March 2008   April 2008   May 2008   June 2008   November 2008   January 2009   May 2009   June 2009   December 2009   November 2010  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]