Jendela Luluk
Thursday, October 14, 2004
Oleh : KH A Hasyim Muzadi
Dimuat dalam 'Refleksi' pada Harian Umum Republika, 10 Oktober 2004
Alkisah, dalam sebuah hadis, tersebutlah seorang 'abid yang malam-malamnya digunakan hanya untuk bersujud kepada Allah SWT melalui shalat, bermunajat dengan untaian-untaian kata kudus memuja kebesaran Allah, berdoa begitu rupa memohon selamat seakan dirinya merupakan orang paling celaka di dunia.
Napasnya ibarat zikir, pengembaraan rohaninya meanglang menembus cakrawala dunia, berjingkat-jingkat menaiki lembaran-lembaran langit. Seperti seorang pejuang yang gigih, ia terus berjalan mendaki ketinggian langit. Bagai seorang yang tengah trance, ia sendirian menuju puncak harapannya. Ia hidup bersama harapannya.
Meski malam telah berlalu, tak berarti ia menyudahi tafakkur, tadabbur serta tadzakkurnya kepada Allah SWT. Ia juga belum beranjak dari masjid, melanjutkannya dengan ibadah puasa sepanjang hari. Pada malam-malamnya dan pada siang-siangnya 'abid ini tetap berada di masjid. ''Begitu hebatnya dia, ya Rasulullah. Tak ada ganjaran yang pantas baginya kecuali surga,'' kata seorang sahabat ketika bertemu Rasulullah SAW.
Karena belum memahami persoalan, Baginda Rasul lantas bertanya apa sebab orang tersebut mendapat jaminan surga. Kepada beliau dijelaskan soal kegiatan sang 'abid sepanjang malam dan sepanjang siang. ''Lantas siapa yang mengantarkan untuknya makanan sahur dan ta'jil untuk berbuka puasa?'' tanya Rasulullah. ''Istrinya,'' jawab para sahabat yang ikut mendengarkan pembicaraan tersebut.
''Istrinya jauh lebih pantas darinya untuk masuk surga, dan surga akan mengabaikan si 'abid karena mengabaikan pesan moral puasa,'' kata Baginda Rasul. Bagaimana bisa demikian? Ini karena sang 'abid lebih mementingkan ritual yang mendekati dunia simbol ketimbang menjalankan pesan moral yang dikandung dalam ibadah-ibadah mahdhah. Pesan moral yang dikandung dalam puasa adalah bagaimana kita bisa berdekat-dekatan dengan orang miskin, fakir, dan tak berdaya secara ekonomi.
Merasakan dahaga mereka dan mencoba berlapar-lapar sebagaimana mereka terbiasa hidup dalam kelaparan yang panjang. Kita harus berbagi dalam kondisi apa pun dengan kaum yang sangat disayang Rasulullah ini. Dalam sebuah hadis lain juga pernah disebutkan, seorang ibu rumah tangga di siang hari Ramadhan memaki-maki pembantunya karena pekerjaan yang tidak memuaskan dengan kata-kata yang sangat tak pantas. Karena teriakannya terlalu nyaring, sampai kata-kata kotor itu terdengar ke kediaman Rasulullah. Bersama seorang sahabat, Rasulullah mengantarkan baginya makanan.
''Saya sedang berpuasa, ya Rasul,'' kata wanita itu. Kepadanya, Rasulullah menjelaskan bahwa puasa memiliki pesan moral yang harus dijalankan oleh umat Islam agar nilai-nilai yang dikandungnya dapat membuat hidup semakin damai, hati kian tenteram, jiwa menjadi tenang dan pikiran menjadi sublim.
Puasa dengan tetap membiarkan nafsu amarah menjadi pengendali, syahwat menghiasi kegiatan sehari-hari, serta membawa serta sifat-sifat buruk pada bulan-bulan sebelumnya ke dalam bulan suci Ramadhan, adalah sesuatu yang sia-sia dan menodai pesan moral puasa. ''Kam min shoo-imin laysa lahuu min shiyaamihii illaljuu'a wal 'athosy (Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi puasa itu tak lebih hanya menyebabkan dia lapar dan dahaga),'' demikian Rasul menggambarkan nilai puasa wanita pemarah tadi.
Puasa juga mengamanatkan kepada pelakunya untuk membuka lembaran baru agar kehidupan semakin baik, mempererat persaudaraan, merasakan kegetiran hidup, bersabar dengan ketentuan Allah, serta berusaha mengembalikan fungsi-fungsi ragawi kepada fungsi yang sebenarnya. Puasa yang diajarkan Allah adalah puasa yang dapat mengendalikan hawa nafsu, jangankan untuk hal-hal yang haram, untuk yang halal sekalipun kita harus membiasakan diri untuk tidak berlebihan. Hatta, makanan halal karena hasil keringat sendiri, kita masih diwajibkan menunggu bunyi beduk untuk berbuka puasa.
Kita diwajibkan menghindar dari kebiasaan bergunjing, memfitnah atau melempar sumpah serapah. Sebab, yang demikian di luar bulan Ramadhan pun haram untuk dilakukan. Sebisa mungkin, telinga kita juga harus dibiasakan untuk mendengarkan hal-hal yang baik seperti menyimak lantunan ayat-ayat suci, bersama' dalam zikir dan menjauhkan diri dari mendengar yang buruk-buruk, apalagi fitnah. Sebab, yang speerti ini di luar Ramadhan pun kita dilarang.
Demikian juga, pesan suci yang dibawa puasa khususnya di bulan Ramadhan, bisa berbentuk riyadhah atau latihan agar setiap orang yang berpuasa mencoba selama sebulan penuh untuk meninggalkan angkara murka, membersihkan jiwa dari kebiasaan buruk, serta berbagi rasa dengan para tetangga. Di mata Rasul, seorang dinilai tidak sedang berpuasa kalau bisanya cuma menahan lapar dan dahaga.
Begitu pentingnya nilai puasa, sampai-sampai Allah SWT dalam banyak firman-Nya menjelaskan soal orang-orang yang berhalangan melakukan puasa. Orang yang bepergian jauh, suami-istri yang bersebadan di siang hari, usia lanjut, sakit yang tidak memungkinkannya berpuasa, 'datang bulan' bagi wanita serta baru melahirkan, maka baginya harus menjalankan pesan moral ibadah puasa. Mereka yang terhalangi berpuasa, ibaratnya memiliki piutang kepada Allah dan pengembaliannya wajib dengan membayar fidyah kepada-Nya melalui hamba-hamban-Nya yang kebetulan miskin dan papa. Puasa Ramadhan berintikan ajaran untuk berbagi secara tulus dan ikhlas.
Begitu mulianya bulan Ramadhan ini, sampai-sampai Baginda Rasul melakukan persiapan khusus untuk menyambut kedatangannya. Bahkan, Rasulullah membiasakan diri untuk menyambut bulan seribu bulan ini sejak pertengahan bulan Sya'ban dengan menyantuni fakir miskin, mendatangi sanak kadang, bersilaturahim dengan tetangga untuk saling memaafkan. Padahal semua orang tahu, Rasululah bukanlah orang yang 'berada' secara ekonomi tetapi keinginannya untuk beramal tak pernah padam. Tak ada istilah menunggu kaya untuk berbuat kebajikan, untuk berinfak dan untuk bersedekah.
Di zaman Rasul, orang-orang miskin juga berebut untuk saling memberi karena di samping nilainya di hadapan Allah sunggu besar juga karena pesan moral puasa mengajarkan untuk bisa berbagi. Semakin besar nominal yang kita keluarkan akan semakin besar pula pengaruh mental ibadah puasa kepada kita.
Saudara-saudaraku! Ramadhan akan segera datang kepada kita hanya dalam hitungan hari. Mari kita sambut bulan penuh berkah ini dengan suka cita sebagaimana kita sudah mengharapkannya sejak sebelas bulan yang lalu. Sebab, bukan tidak mungkin tahun depan kita tidak akan bertemu lagi dengan Ramadhan. Ibarat kolam tempat membersihkan segala kotoran yang menempel di tubuh kita, Ramadhan menyediakan sarana untuk keperluan pembersihan diri. Kalau sepanjang sebelas bulan sebelumnya kita melupakan Allah, mengabaikan fakir miskin, alpa terhadap anak yatim dan merampas hak-hak mereka, kini saatnya kita berasyik-masyuk dengan mereka. Semoga Allah menyayangi kita semua. Wallahu A'lamu Bish Shawaab.
***
Oh, ya. Menjelang Bulan Ramadhan pada Maghrib hari ini, saya memohon dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya atas segala khilaf yang telah saya lakukan, teriring do'a yang tulus untuk semua.
Mari bersihkan jiwa dan sucikan hati. Selamat menunaikan ibadah puasa ! :)
Archives
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
December 2006
February 2007
May 2007
March 2008
April 2008
May 2008
June 2008
November 2008
January 2009
May 2009
June 2009
December 2009
November 2010
Subscribe to Posts [Atom]