09/04 09:00 Teh Listyana, rekan di RMI Bogor, mengirimkan sms:
"Mbak luluk, makasih ya buat pinjeman bukunya, saya baru selesai dg Tuesdays with Morrie, hehe.. Saya nangis, padahal lagi di Stasiun Tanjung Barat, isi bukunya bukan sekedar indah, tapi kisah nyata yang memberi inspirasi dan pencerahan buat pembacanya. Kata Gus Dur, adalah orang BODOH yang meminjamkan buku pada orang lain & hanya orang GILA yang mengembalikan bukunya. Saya nggak mau jadi ORANG GILA."
-Untuk Gus Dur: what a fantastic quote! :-) -Untuk
Teh Listy: KEMBALIKAN BUKUKU..!!! (gggrrrhhhhh....)
Iseng ngebet koran pagi ini dan nggak sengaja “nemu” pemberitahuan acara launching buku Mengenang 100 tahun HAMKA di Al-Azhar Kebayoran Minggu lusa. Saya seumur-umur baru baca mahakarya beliau yang jadi bacaan wajib kala sekolah dulu: Di Bawah Lindungan Ka'bah (Balai Pustaka, 1936) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Balai Pustaka, 1937). Malu juga, dan ini bikin penasaran saya akan buku baru mengenang diri beliau. Juga, wuuh, para pengisi acaranya asik punya! Ah, andai saja saya sudah punya lensa tele untuk “nangkep” orang-orang penting ituh, hehe..
Oke, Minggu 6 April – Aula Buya Hamka, Al-Azhar Kebayoran. Marked!
Kemarin pagi, ibu saya terlihat lebih sibuk dari biasanya. Ngutek-ngutek sendiri di dapur, dan tak lebih dari jam 10 pagi sudah terlihat hasilnya: berpotong-potong kue seperti gambar disamping: pisang nangka dalam balutan singkong parut campur gula Jawa yang direbus dalam gulungan daun pisang. Sebelum disajikan, taburan kelapa parut menambah cita rasa gurih kue tradisional ini.
Seingat saya, penganan ini banyak beredar kala saya duduk di bangku sekolah dasar. Citra penjualnya pun masih terekam baik dalam kepala. Seorang ibu paruh baya dengan rambut tergelung, mengenakan kain lusuh, dan membawa bakul serupa dengan bakul jamu berisi aneka jajanan pasar pemuas selera bocah-bocah cilik ingusan di SD kampung saya. Untuk penganan serupa yang ibu saya buat ini, saya ingat betul namanya kue kacamata.
Karena hari sebelumnya ada kegiatan di lapangan, hari itu saya berangkat ke kantor agak siang dengan berbekal sekotak mahakarya ibu. Ita, seorang rekan kerja, dengan sumringah mengingatnya sebagai kue mata bagong. Arafat lain lagi, di daerah asalnya di Pontianak, dia pernah membantu membuat kue ini dari sekian banyak jajanan pasar yang dijual ibunya ke pasar. Jadi ingat kampung halaman aku, katanya. Ai, sohib dekat, ngotot menamakan kue ini sebagai kue pelangi, akibat dulu sewaktu kecil adonan singkong parut-nya berwarna-warni laksana pelangi. Poppy, asal Medan, bernostalgia pernah membuatnya ini bersama teman-teman SD-nya.
Wah, gile! Kue sesederhana ini ternyata dikenali semua yang mencicipinya. Tak disangka, kepopuleran kue kacamata menyebar dari Sumatera, Jawa, sampai Kalimantan.
Yeah, kue kacamata menyatukan Indonesia! :)