Jendela Luluk

Friday, October 28, 2005

 

Bingung

Ini hanya cerita singkat saja tentang pengalaman ditugaskan keluar kantor untuk ikut suatu lokakarya tingkat nasional. Undangan dikirimkan oleh satu badan penelitian milik pemerintah. Mestinya orang lain yang ditugaskan karena saya masih cukup junior untuk ikut tipe-tipe acara seperti ini, tapi hari gini tampaknya semua ingin menyelesaikan pekerjaan sebelum tiba waktu cuti lebaran.

Ternyata benar kan? Yang datang pejabat semua. Tempat teraman buat saya untuk tidak mencolok adalah deket-deket tembok dan menjauh dari kumpulan orang-orang. Lumayan strategis juga untuk lihat-lihat. Ya ampun, puasa memang banyak godaan. Pikiran pun tak lepas dari penilaian-penilaian buruk menyimak penyajian dari kalangan pemerintah.

Biasanya, materi dari kalangan pemerintah dimanapun mereka mempresentasikan, adalah beberapa programnya yang mereka rencanakan. Itu lagi, itu lagi. Sampai ngantuk-ngantuk saya mendengarnya, padahal baru jam 10 pagi.

Saat sesi tanya jawab, ada yang lucu. Seseorang bertanya mengenai evaluasi hasil pada program pemerintah sebelumnya, si pejabat menjawab: “Nah itulah, saya bingung kenapa angkanya kok nggak turun-turun. Heran saya itu. Sebenarnya ada yang salah disini. Untuk itulah kedepannya kami berharap bla.. bla.. bla..” Lho?! Bingung juga saya jadinya. Nggak ada jawaban lain yang bagus apa yah? :(

Setelahnya ada 1 penyajian bagus dari badan litbang -yang meskipun milik pemerintah- memberikan hasil penelitian yang T.O.P. B.G.T. dan ngantuk saya langsung hilang. Teori-teori dan perhitungannya (konon) menjadi landasan oleh badan yang suka bikin rencana-rencana buat Indonesia. Belakangan saya baru tahu kalau beliau ini dedengkotnya badan litbang tersebut. Pantes.. Nggak rugi juga dateng kesini. :)

Tapi menjelang buka puasa bersama, saya dikejutkan lagi oleh satu hal. Ada pembicaraan kecil ibu-ibu panitia di belakang ruangan. “Kalau di hotel nggak enak ya, nggak bisa bungkus-bungkus.” Walaaaaah, mau lokakarya apa mau bungkus-bungkus makanan, bu?? :(

Duh, pemerintah...

Wednesday, October 26, 2005

 

Senewen

Pernah nggak Anda punya keinginan tertahan untuk bisa marah-marah? Amarah yang meledak, tidak terkontrol, dan tanpa interupsi. Amarah yang diwujudkan dengan teriakan penuh emosi, tangis kepedihan, atau malah (naudzubillah..) umpatan tak berkesudahan.

Saya pengen banget lho! Hari ini saya ingiiiiiiiin sekali marah-marah. Tapi apa daya? Ada boss disamping meja. Serius dikejar tenggat waktu tugasnya. Kepala saya mendadak pusing, sesekali menarik nafas panjang, tubuh tiba-tiba terasa dingin, walau hati panas terbakar. Berbuat ini salah, berbuat itu salah.

Ugh!!

Menjelang sore, ajakan 3 rekan kerja saya sambut sebagai pengalih perhatian. Oh, betapa harapan tidak seindah kenyataan. Obrolan dan banyolan khas cewek sesekali mampu menyunggingkan senyum di bibir, tapi hati konsisten dengan kemarahan. Satu usaha, gagal.

Sore itu pula, salah seorang teman, Galuh, mengirim pesan singkat: “luluk, besok malam buka puasa bareng di Dixie scbd Semanggi yuk... -ceritanya gw mau traktir nih- tlg konfirm ya. Thx”. Ajakan yang menyenangkan di tengah suasana hati yang diliputi awan negatif. “Ahh! Senangnya! Kebetulan bsk gw keluar kantor, daerah Casablanca. Jd, bs cepet cabut. Oke, gw dateng, Luh! Thanks yah! ;)”. Sesudahnya, baru deh sadar bahwa saya tidak punya ide apa dan dimana tempat yang namanya ‘Dixie’ itu. Semanggi ya? SCBD itu apa? Ah, itu urusan besok. Urusan sekarang apa? Ggrrrrhhh, masih pengen marah-marah. Usaha kedua, gagal.

Setelah selesai kumpul-kumpul bareng beberapa rekan kerja, 3 dari kami diantar sampai ke suatu tempat perbelanjaan di daerah Cilandak, tempat yang dianggap mudah untuk mencari kendaraan umum untuk pulang. Anda tahu-lah, wanita, dengan barang-barang yang dipajang di depan mata, 5-10 menit menunggu kendaraan umum dapat berubah menjadi 25-30 menit window shopping. Oh tentu saja, saya akan menjawab ‘ya’ jika pikiran Anda sejalan dengan pikiran saya. Sepasang sepatu putih yang manis menggoda saya untuk segera memilikinya. Lebaran tahun ini saya tidak punya sesuatu pun yang baru, mungkin saatnya untuk punya sepatu baru. Ditambah, jadwal saya besok adalah menghadiri lokakarya nasional yang wajib mengenakan segala sesuatu yang bersifat resmi. Singkatnya, saya pulang tidak dengan tangan kosong. Senang? Jelas senang, walau hanya sesaat. Putihnya sepatu tidak sanggup menghapus kelamnya hati. Usaha ketiga, gagal.

Walhasil, disinilah saya malam ini. Mencoba aktifitas lain dalam usaha memutihkan kembali hati. Menyalakan komputer, cari-cari kerjaan menyenangkan berupa... utak-atik foto. Hasilnya, seperti terlihat pada gambar diatas, satu pemandangan indah dari musholla kantor. Saya berani bertaruh tidak ada pemandangan seindah ini dari musholla manapun di Jakarta. Sisi ruangan yang menghadap kiblat pada musholla kami, berdinding kaca. Saya dan teman-teman betah berlama-lama tinggal di musholla selesai sholat dengan pandangan luas membentang seperti ini. Semua terlihat kecil, seperti tak ada artinya. Semua terlihat rapi, seperti ada yang mengatur. Manusia tidak ada artinya bagi Dia yang Maha Mengatur.

Ya, apa daya saya seorang manusia dalam mengatur hati tanpa bantuan dari-Nya...?
---

Malam 23 Ramadhan 1426 Hijriah.

Wednesday, October 19, 2005

 

Berbahasa-Indonesialah !

Baru beberapa hari lalu tak sengaja bertemu dengan sensei Bahasa Jepang dan timbul keinginan untuk melanjutkan kursus ke jenjang yg lebih tinggi, pagi itu saya malah mendapat selebaran saat masuk lingkungan kampus. Lumayan ada tambahan 1 lembar sticker kuning terselip dibawahnya. Tertulis disitu “Bahasa Indonesia: Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi yang Menggunakan?” Nahlo.. :p

Ternyata, Bulan Oktober ini adalah bulan Bahasa Indonesia bagi segenap Fakultas Ilmu Bahasa (dulunya Fakultas Sastra), dan diadakan berbagai acara dalam satu rangkaian Festival Bulan Bahasa Indonesia ini. Nah, pembagian selebaran tadi merupakan salah satu ‘Kampanye Peduli Bahasa Kita’ yang digarap Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI) dan Senat Mahasiswa FIB UI.

Yang menarik, isi selebaran mereka cukup ‘nendang’ bagi saya yang.. itu tadi diatas, baru saja ingin kursus bahasa asing lagi.

Sadarkah Anda sudah berapa puluh tahun Bahasa Indonesia kita miliki?
Dan, selama berpuluh-puluh tahun itu, sudah sejauh mana Bahasa Indonesia telah kita kuasai?

Sadarkah Anda saat belajar bahasa asing, ada rasa bangga untuk mengatakan, “Saya sedang belajar bahasa ini, Saya sedang belajat bahasa itu”.
Lalu adakah rasa bangga saat Anda mempelajari Bahasa Indonesia?

Tahukah Anda kenapa kita tidak juga menguasai Bahasa Indonesia, bahasa yang telah kita pelajari sejak kita duduk di bangku SD?

Hal itu karena kita tidak pernah benar-benar mencintai Bahasa Indonesia.
Jangankan mempelajarinya, menggunakannya saja kita malu!
Kita lebih senang mengganti istilah-istilah Bahasa Indonesia dengan bahasa asing (demi gengsi?).
Maka, mulai dari sekarang, cobalah untuk bangga dan mencintai bahasa kita sendiri, Bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia, cuma kita yang punya!

Wah.. eh.. Jadi ingat satu kejadian di lift (lagi?). Waktu awal-awal kerja dan masih belum punya peta siapa saja yang bekerja di gedung ini, saya pernah satu lift dengan seorang pria yang bertampang Asia belahan Utara. Kalo nggak orang Jepang, ya mungkin orang Korea. Dia tersenyum ramah, seakan mengucapkan selamat pagi pada beberapa orang yang ada dalam lift.

Ada seseorang yang berinisiatif menyapanya, “Good Morning!” yang dia cepat balas dengan “Morning!” Sudah kadung menyapa, si penyapa bertanya kembali, “Where do you come from?” yang tak sampai sedetik dibalas dengan senyuman lebar *aneh* sampai terkekeh-kekeh oleh si orang Asia, yang kemudian menjawab: “Saya dari Korea. Saya sudah lama kerja disini. Senang bertemu Anda, hehe...”

Gubrakkk!!

Orang Korea lancar Bahasa Indonesia euy... Bagus pula pengucapannya. Kenapa si orang Indonesia yang pertama kali menyapa tidak mencoba mengawali percakapan dengan menggunakan Bahasa Indonesia ya? Langsung di-K.O. sama si Korea gitu. Sudah bisa ketebak mungkin ya, yang sok akrab itu... namanya Luluk. :D hihi..


~memalukaaaaaan...! XD

Monday, October 03, 2005

 

Atasanku idolaku

Pada awal saat saya mendapatkan tawaran bekerja di lingkungan universitas, langsung terpikir akan menemui banyak kesulitan. Masalah utama (menurut saya), adalah bos saya nantinya pastilah mantan dosen saya dahulu. Apakah bisa dengan mudah hirarki dosen-mahasiswa berganti menjadi rekan kerja?

Tapi nih, -meskipun ketidakrelaan seorang dosen untuk disejajarkan dengan bekas mahasiswanya masih jelas terlihat pada orang-orang di lingkungan kerja saya-, ternyata saya HARUS bersyukur mendapatkan atasan langsung yang terus berusaha untuk meningkatkan kemampuan anak buahnya. Memang pada awalnya, si bos sering mengajukan pertanyaan yang terkait dengan ilmu yang pernah dipelajari dulu di bangku kuliah. Dan... mungkin karena tak jarang pula jawaban saya yang meleset, membuat si bos kembali mengajukan... cihuy!... kali ini, tawaran ikut kuliah!

“Kamu mau nggak ikut kuliah saya? Bagus buat kamu.”
“Ha? Ikut kuliah? Memangnya boleh, prof?”
“Ya kan saya penanggungjawab programnya. Ikut aja nanti tiap Kamis siang. Ajak teman-teman yang lain. Saya tunggu nanti di kelas.”
“Memangnya kelas itu untuk program apa, prof? S1 atau S2?”
“Sebenarnya itu untuk program S3, tapi nggak apa kamu masuk aja.”
*HAHH???* “Oh ya, makasih, prof. Nanti saya datang.”

Maka jadilah. Setiap Kamis, saya dan 3 teman kantor rutin ikut kuliah. Sekelas dengan 6 orang mahasiswa S3 yang punya tampang-keberatan-ilmu-dan-pengalaman. Nggak ada satupun yang nggak bertanya, atau sekedar komentar, atau bahkan mengoreksi bahan ajaran boss saya. Benar-benar kelas yang cool! :p hehe..

Kemudian, apakah dengan mudahnya saya menikmati kuliah gratis yang sedikit memangkas waktu kerja? Oh, tentu tidak. Ada kewajiban tugas sebagai bayarannya. Apakah itu? Well... saya wajib MENULIS! Yap, membuat tulisan terserah topiknya apa (tapi tentu saja terkait kerjaan) sebagai pengayaan tulisan yang dibuat para peneliti disini. Sebenarnya hanya tulisan sederhana saja, untuk membuat saya belajar dan langkah awal untuk jadi peneliti beneran, menggantikan status peneliti bo’ong-bo’ongan yang selama ini tersandang di pundak saya. :p

Setelah 2 minggu, tibalah saat saya menyerahkan draft pertama ke si boss. Komentar yang dikeluarkannya adalah “Tulisan kamu... hmm... apa ya... seperti kurang mengigit. Sebuah tulisan itu ya, seharusnya kan bla... bla... bla...” Arrrrgh.... udah ilfil duluan dengernya. Males rasanya untuk menulis ulang, cari-cari bahan dan mengira-ngira apa yang baik ditulis – bagaimana menulisnya – lalu membuat benang merah dari keseluruhan tulisan.

Satu rekan kerja saya malah tertawa (menghina?), “Hahaha...!! Luk, inget. Boss lo kan professor. Ya jauh-lah sama tulisan anak S1. Lagian masih draft pertama. Anggep aja kayak nulis skripsi. Cayo! Cayo!”

Hmm... oke. Anggap aja skripsi. Atau malah thesis? Hehe... :p Tapi terakhir ketemu, si boss malah nambahin “Nanti kalo tulisan kamu udah bagus, tinggal kamu Inggris-in. Trus saya edit lagi. Kan lumayan bisa masuk jurnal internasional. Nama kamu yang ditulis pertama, saya nomer dua.”

HAH??!

~mati dah gue X(

Archives

July 2004   August 2004   September 2004   October 2004   November 2004   December 2004   January 2005   February 2005   March 2005   April 2005   May 2005   June 2005   July 2005   August 2005   September 2005   October 2005   November 2005   December 2005   February 2006   March 2006   April 2006   May 2006   December 2006   February 2007   May 2007   March 2008   April 2008   May 2008   June 2008   November 2008   January 2009   May 2009   June 2009   December 2009   November 2010  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]