Jendela Luluk

Monday, May 23, 2005

 

Dasar Anak Muda!

Senin sore, dengan kondisi yang keesokan harinya adalah tanggal merah. *senangnya*

+ : Bu Nunung! Maaf ganggu. Ikutan yuk, kita mau nomat nih! Kingdom of Heaven, abis Maghrib di Citos.
-
: Duuh, gimana ya.. Gue kasian ama anak gue, ntar dia nyariin ibunya.
+ : Hu uh, dasar ibu-ibu!
-
: Eh, kamu juga tuh ya, dasar anak muda!
+ : Hihihi... :p

Hmm... Kadang terlintas dalam fikiran, kalau nanti saya sudah jadi ‘ibu-ibu’ apakah masih juga mendarah daging kebiasaan ngayap bersama teman-teman. Ah, mudah-mudahan nggak deh. ;)


Tapi itu nanti, sekarang waktunya nomaat... :D


Tuesday, May 17, 2005

 

Menangis

...yang meskipun seorang perempuan, merupakan hal yang ‘haram’ untuk saya lakukan. Menurut pemikiran simple saya, menangis adalah cerminan dari kondisi lemah tak berdaya, kekanak-kanakan dan please deh.. itu kan sesuatu yang hanya dilakukan oleh para ‘pecundang’. Saya ingat pernah membentak teman sekelompok sewaktu OPT di kampus karena selalu menangis: “Kamu tu malah ngundang senior-senior dateng ngerjain kamu, tau nggak sih?!” Benar saja, di akhir OPT kelompok kami mendapat predikat ‘kelompok termanja’ seangkatan! Huh, memalukan.

Nyatanya semua itu tidak mudah. Siang itu, di ruang belakang kantor, saya menangis. Segala daya upaya dikerahkan, tetapi (mungkin) ego seorang perempuan-lah yang kali ini memenangkan pertempuran melawan akal sehat.

Mungkin bagi laki-laki ini tidak ada artinya, tapi cobalah sedikit fikirkan. Tidakkah jika seseorang terus menerus melebihkan diri sendiri dengan sengaja untuk tujuan tertentu (yang tidak masuk akal) maka sedikit banyak kita akan membandingkannya pada diri kita sendiri? Saya letih untuk mencoba bertahan dan bersikap seolah-olah kuat menghadapinya. Telinga sudah ditulikan, mulut sudah dibisukan, fikiran telah dimatikan, dan hati telah coba ditundukkan menghadapi semua tekanan ini. Tapi apa daya?

Hanya menangis.

Padahal ingin rasanya seperti predator berdarah dingin yang awalnya bersikap tenang tapi dibalik semuanya ternyata punya perhitungan untuk menaklukkan mangsanya. Paus pembunuh, singa si raja hutan, ular berbisa penguasa padang pasir atau cheetah pelari tercepat yang memburu mangsanya tanpa suara. Benci sekali, saya tidak mampu melakukannya. >:[

Tapi setidaknya, ketika kembali membaca entri saya kali ini, hmm.. dengan senyum bangga dan menegakkan hati, mencoba meyakinkan diri:

Saya bahagia. Mencintai dan dicintai. Menikmati hidup. Bebas lepas.
Tidak ada saingan untuk ditaklukkan. Tidak ada kewajiban untuk menjaga citra diri secara berlebihan. Dan semua ini tidak akan terbeli berapapun harganya. Inilah saya apa adanya. Salahkah saya jika ingin menjadi seseorang yang ‘biasa-biasa saja’? Saya rasa tidak. Saya merasa nyaman dan tidak sedikitpun menjumpai kesulitan dengan keadaan yang ‘biasa-biasa saja’ ini. Dan.. hey! bukankah tidak ada satupun yang sempurna di dunia ini?

Jadi apa masalahmu, hah?!!


Friday, May 06, 2005

 

Oleh-oleh

Paling pusing deh, kalau pergi jauh, untuk cari oleh-oleh buat keluarga atau kerabat. Dan ternyata saya baru menyadari akan jauh lebih pusing jika menerima oleh-oleh yang... bukannya nggak suka sih, tapi nggak 'sreg' aja.

Big bos, Rabu lalu baru saja tiba dari Eropa. Sebuah syal yang cantik tergeletak dengan manis di meja kerja saya. Dari bungkus dan labelnya saja bisa diperkirakan, waw! ini barang mahal. Salah seorang teman bilang, tadi pagi bos sendiri yang memilihkan warnanya untuk saya. Itu khas warnanya Luluk, katanya. Hijau.

Well, kenyataannya:
1) Saya tidak cenderung menyukai warna-warna tertentu. Memang frekuensi saya memakai warna hijau (mungkin) lebih sering dibandingkan warna lain. Tapi kalau bos sudah memilih hijau padahal warna dan motif lain lebih (banyak yang) menarik, kita mau apa?
2) Warna hijau-nya unik. (‘unik’ kadangkala bisa diartikan aneh kan? Hehe..) Tidak ada satu baju hijau pun kepunyaan saya yang bisa ‘masuk’ kedalamnya, kecuali kemeja putih, atau hitam saja sekalian.
3) Mmm.. Ini ‘syal’. (Yang biasa dililitkan di leher, inget?) Bukan kerudung. Jadi sewaktu mengenakannya, saya memodifikasinya dengan kerudung putih. Nah, pas si Bos melihat: 'Dek Luluk, mestinya jangan ada putih-putihnya dong...' (Repot nggak sih?)

Arrrgh, cukup!
Saya punya pengalaman banyak untuk ini. Anda memberikan, saya mengenakan, dan sesudahnya, terserah saya untuk memutuskan apa yang saya lakukan dengannya bukan? Toh, itu sudah milik saya.

Jadi suatu hari, sewaktu berpapasan dengan mas Agus, yang rajin bersih-bersih kantor...
+ : Eh, Mas Agus, lo punya cewek nggak?
- : Punya. Kenapa?
+ : Beneran nih?
- : Bener. Demi Allah!
+ : Ooh, ya udah.
- : Emang kenapa, Luk? Lo mau ngasih apaan?
+ : Yee, orang gue cuma mau nanya doang. Siapa yang mau ngasih? (hihi..)
- : Dih… mau ngeledekin gue doang ye?!
+ : Ngomong-ngomong, cakep nggak tuh pacar lo?
- : Bodo ah! *sambil pergi, dongkol*

Temen kantor saya bilang, suka nggak suka, itu pemberian orang, bos pula. Dikasih, ya Alhamdulillah. Dan mesti dihargain. Jangan dikasih ke sembarang orang.

Nah tapi kalau cuma menuh-menuhin lemari, mending dikasih ke orang lain saja bukan? Siapa tahu bisa buat kondangan, ngapel, nonton layar tancep atau yang lainnya.


Masih ada waktu untuk memutuskan. Jadi gimana nih, penonton?

Archives

July 2004   August 2004   September 2004   October 2004   November 2004   December 2004   January 2005   February 2005   March 2005   April 2005   May 2005   June 2005   July 2005   August 2005   September 2005   October 2005   November 2005   December 2005   February 2006   March 2006   April 2006   May 2006   December 2006   February 2007   May 2007   March 2008   April 2008   May 2008   June 2008   November 2008   January 2009   May 2009   June 2009   December 2009   November 2010  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]