Banyak bersliweran kisah-kisah menyeramkan di seputar gedung tempat saya berkantor, membuat... yah setidaknya saya- tersugesti untuk mengaitkan kejadian ‘biasa’ menjadi tidak biasa. Kamar mandi, tempat sholat, atau dapur kantor menjadi setting favorit untuk kejadian-kejadian 'tidak biasa' tadi. Suara-suara tidak jelas, bayangan berkelebat, perasaan diawasi, keran air yang terbuka sendiri atau lampu dan AC yang mati tiba-tiba... mmm... tidak hanya satu dua kali terjadi disini.
Tetapi menurut saya, tempat unik yang pernah menjadi setting kejadian 'tidak biasa' adalah lift. Tempat dimana kita tidak tahu siapa yang akan muncul keluar dari lift (pada saat kita menunggu lift untuk naik ke lantai atas) dan tidak pula bisa menebak siapa yang menantikan lift di lantai atas (saat kita didalam lift menuju keatas).
Pernah, saat saya dan beberapa orang teman pulang sekitar pukul 18.30, sambil ngobrol masuk lift, pencet tombol untuk menutup pintu, lanjut ngobrol lagi. Pintu tertutup dan lift bergerak. Baru beberapa saat, pintu lift membuka dan hiiiiy... ternyata lift berhenti di lantai 9 tempat Ruang Sidang berada. Pemisah antara lift dan ruangan super besar itu hanya dinding kaca yang (pastinya) tembus pandang. Keadaan gelap gulita dan satu-satunya sinar hanya berasal dari lampu didalam lift. Samar-samar bayangan kursi-kursi kosong, mimbar yang tinggi, garuda pancasila, juga potret SBY-Kalla terlihat. Karena pikiran sudah macam-macam mengingat banyak cerita seru di seputar ruang sidang, buru-buru tombol tutup pintu dipencet, disusul tombol lantai ‘B’ –lantai paling bawah. “Lo gimana sih, Luk. Tadi nggak pencet B ya? Serem tau!” protes seorang teman. Haduuuuuh, padahal saya juga sport jantung waktu itu.
Yang kedua, pengalaman mendebarkan terjadi saat ingin menunaikan sholat Maghrib berjamaah awal minggu ini. Kebetulan toilet, tempat wudhu, musholla dan lift berada pada satu tempat yang sama, koridor lantai 8. Setelah saya dan 2 orang teman selesai berwudhu, sambil menunggu teman yang lain, kami bertiga duduk-duduk di kursi tunggu yang ada disamping lift. Seorang teman yang kerap menjadi imam memaksa sholat dilakukan di musholla timur, karena lebih luas dari musholla barat. Sambil misuh-misuh, kami bertiga mengambil perlangkapan sholat yang ada di musholla barat (karena memang disimpan disana), dan harus mengambil jalan memutar, di seberang lift. Sebelum 3 meter jaraknya kami mencapai musholla timur, tiba-tiba... Ting! Pintu lift terbuka dengan tidak ada siapa-siapa didalamnya! Mmm.. yah sebenarnya biasa saja sih, tapi salah seorang yang (menurut saya) paling berani malah lari mendului kami sambil sedikit berteriak ‘Nggak ada orangnyaaaa!!’. Haduuuuuh, sepersekian detik setelahnya saya juga lari secepat kilat menuju musholla timur.
Logikanya kan begini:
Kalau ada orang ingin turun... tentunya orang ini harus meminta lift dan harus pencet tombol dari lantai 8. Sementara sekian lama kami bertiga duduk disamping pintu lift yakin tidak ada seorang pun yang memencet tombol lift. Teman-teman yang lain sedang sibuk berwudhu. Kalau ada orang dari bawah naik ke lantai 8. Siapa? Satpam iseng? Atau ada pegawai yang naik ke lantai antara lantai 1 sampai 7, dan iseng pencet tombol lantai 8. Begitu lift sampai ke lantai yang dituju (di lantai 1-7 tadi), dia keluar, lalu lift meneruskan perjalanan ke lantai 8 dengan tidak membawa penumpang. Tapi ya ampun, adakah orang segitu isengnya mencetin tombol ke lantai yang tidak dia tuju di saat Maghrib dan keadaan sudah remang-remang karena sebagian besar lampu sudah dimatikan, kecuali... :( hiiiiiy...
Pengalaman lain, tepat 2 hari lalu. Sesaat setelah menunaikan Sholat Maghrib 5 menit menjelang pukul 7 malam (ouch!), saya dan 2 orang rekan beranjak pulang. Seperti biasa masuk lift bertiga, pencet tombol tutup pintu dan (tidak akan pernah lupa untuk) pencet tombol ‘B’ untuk lantai dasar. Hening, ngobrol sedikit, hening lagi karena terlalu lelah berbicara sambil sesekali melirik pergerakan lampu rute lift. 8... 7... 6... 5... 4... 3... Ting! Haduuuuh, siapa sih yang mau naik dari lantai 2 keadaan sudah gelap gulita, suasana sedemikian sunyi senyap, kondisi fisik lumayan lelah, tak kuasa untuk menahan debar jantung yang deg-degan, siapa sih yang masuk?? Rasanya lamaaaa menunggu pintu lift terbuka, dan akhirnya... jreeeng! Hah!!? believe it or not: PAK REKTOR! Gila! (Ini asli gue kagak bo’ong!) Bapak rektor -yang sekian tahun lamanya saya kuliah- rasanya ingiiin sekali menjabat tangannya sebagai tanda kelulusan. Bapak rektor yang tahun lalu dimaki-maki senat mahasiswanya karena menerapkan admission fee sampai 25 juta. Bapak rektor yang...
“Belum pulang, pak?” *standar banget*
“Nah ini saya baru mau pulang.”
“Ooh, hehe..” *stupid question*
“Lho, kok juga baru pulang jam segini.” *bertanya ke rekan saya*
“Eh, errrr... Mmm hehe...” *rekan saya ini speechless*
“Hmm...” *duh, senyum bukan tuh?*
Hening.
Pandangan pak rektor beralih dari kami, ke nyala lampu rute lift, lalu ke ujung sepatunya. Saya ikut-ikutan.
Ting!
“Yok, mari.”
“Eh, ya mari pak.”
Bapak tahu nggak, sekian detik yang lalu jantung saya hampir copot mengira akan ada yang ‘tidak-tidak’ ketika lift berhenti di lantai 2, eh nggak tahunya yang muncul malah bapak.. hihi..
:D What a girl!
Siapa sajakah yang biasa memberikan sedekah pada pengemis yang biasa duduk-duduk di pinggir jalan? Seorang pekerja kantoran.. atau mahasiswa.. atau seorang ibu rumah tangga yang baru pulang dari pasar?
Pagi ini saya melihat seorang tukang abu gosok dengan gerobaknya menjatuhkan beberapa keping uang logam ke bekas tempat sabun cuci warna biru yang disorongkan si pengemis pinggir jalan. Sementara saya, membawa bekal kue bolu bikinan ibu 6 potong besar-besar untuk sarapan pagi ini bersama teman-teman.
Malu deh.