Jendela Luluk

Sunday, February 19, 2006

 

Lantai 8,5


“Eh, btw, beneran kantor lo di lantai 8,5?” teman saya, Wida, mengakhiri surat elektroniknya dengan pertanyaan ini, padahal saya tengah menanyakan beberapa penjelasan mengenai hal-hal yang terkait dengan keahliannya. Saat itu memang saya memakai email account kantor yang kebetulan mencantumkan alamat lengkap tempat kerja. Hmm.. cukup menyenangkan hal-hal kecil seperti ini bisa menjadi perhatian orang lain. “Bener kok, Wid. Emang kantor gw di Lantai 8,5. Kapan-kapan main dong kesini..” :)

Terletak di Gedung rektorat UI (atau sekarang dinamakan Pusat Administrasi UI), kantor kami memang ‘agak’ dipaksakan untuk terletak disana, karena konon pada pembuatannya dahulu, tempat kami bekerja ini diperuntukkan sebagai gudang penyimpanan arsip universitas. Itu sebabnya, tidak ada satupun jendela untuk bisa sekedar melihat pemandangan di luar. Ugh, padahal jika pikiran sedang suntuk-suntuknya, akan sangat menyenangkan melihat keluar jendela. Anda tahu di luar gedung kantor kami ada apa? Seantero UI yang sebagian besar masih hijau dengan rimbunnya pepohonan, taman asri tepat di depan gedung, danau tenang yang membentang tepat disebelah kiri gedung, Masjid UI di seberang danau dan berbagai bentuk bangunan dari beberapa fakultas terdekat. Sempurnalah semuanya! :(

Gedung ini memuat 9 lantai, tetapi di dalam lift, hanya tombol bertuliskan ‘RS’ untuk menunjukkan angka 9, karena pada awalnya lantai 9 diperuntukkan sebagai Ruang Sidang. Lantai 1 sampai 8 tetap ada tombolnya masing-masing. Untuk transportasi keatas, terdapat 2 buah lift yang sudah lumayan tua, sejak 1986. Jangan bandingkan dengan lift-lift di perkantoran pusat kota. Lift kami ini tidak bisa digunakan untuk bercermin (ehm..), getaran pergerakannya.. yah, mungkin bisa disamakan dengan gempa bumi 1 skala Richter (hehe..), sempat mati beberapa kali dan pernah dilakukan upaya penyelamatan yang persis seperti adegan di film Speed (walau liftnya tidak sampai jatuh & hancur), juga tidak ketinggalan –lift ini ada ‘penunggu’-nya bo! Top deh. :D

Lantai 8,5 -dari namanya bisa diperkirakan- terletak diantara lantai 8 dan lantai 9. Jika dilihat dari luar, mungkin terletak dibalik lambang Makara UI yang ada diatas gedung, di bagian yang terlihat tidak ada jendelanya. Untuk mencapainya, Anda cukup naik lift sampai ke lantai 8 dan menggunakan tangga yang ada di lantai 8 untuk menuju lantai 9. Saya yakin sekali itu adalah tangga darurat karena itulah tangga satu-satunya yang menghubungkan lantai dasar sampai lantai 9. Dan jika Anda menemukan pintu di tengah-tengah perjalanan menaiki tangga dari lantai 8 ke lantai 9, itulah kantor kami, di lantai 8,5.
Lantas, jika Anda berkunjung sekarang, apakah berarti Anda bisa menemukan saya disana? Oh, jawabnya: tidak lagi. Sebab mulai minggu ketiga Februari ini, kantor kami pindah ke satu fakultas sebagaimana lembaga penelitian lain dalam satu bidang yang sama. Kebijakan baru mengharuskan kami kembali dibawah naungan fakultas setelah bertahun-tahun berada langsung dibawah universitas. Konon, ini dikarenakan para lembaga penelitian dianggap cukup ‘menghasilkan’ sehingga ditarik kembali untuk memakmurkan fakultas. Masuk akal juga sih.. :)
Iseng-iseng, kemarin saya sempat bertanya ke pak satpam yang menjaga Gedung Rektorat, akan digunakan untuk apa nantinya lantai 8,5 setelah kami pindahan. Dengan santai si bapak menjawab: “Katanya sih buat senam, mbak. Kan suka ada tuh yang senam di halaman kalo sore. Besok-besok mau dibikinin ruang senam tuh di 8,5”

Ha? Ruang senam?? Nggak ada jendelanya gitu mau dijadikan ruang senam?
Yang benar saja! :D

Tuesday, February 14, 2006

 

Berdua



Selama 10 hari penuh, saya menghabiskan waktu berdua saja dengan seorang sahabat. Oh, tentu saja dia perempuan. Tugas dari kantor membawa kami ke tempat yang sama sekali berbeda dari lingkungan tempat kami biasa tinggal. Yang nyata terasa adalah suhu udara yang luar biasa dingin, makanan yang kurang menggugah selera, penggunaan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari, pakaian muslimah kami yang selalu menarik ‘perhatian’, juga peraturan dan etiket tersendiri yang tidak bisa diabaikan.

Pada hari-hari pertama, semua terasa lancar dan menyenangkan. Namun saat tubuh mulai terasa penat, emosi mulai meningkat, dan biasanya diikuti jalan pikir yang pendek, masing-masing dari kami mulai muncul ‘aslinya’. Yang satu inginnya selalu rapi, satunya berantakan. Yang satu terlalu banyak mengingatkan, satunya lagi lebih banyak diam. Yang satu pelupa, satunya ceroboh. Yang satu cuek saja mati gaya asal tidak kedinginan, satunya lagi selalu minta pendapat akan kesesuaian warna & model pakaian (walaupun pada akhirnya menyerah juga tabrak lari karena kedinginan). Yang satu suka sekali memotret dengan kameranya, satunya lagi harus selalu memotret berulang kali, khawatir dikomentari si tukang potret karena hasilnya kurang optimal (“Yaaah, kok miring sih?” atau “Yah, ini mah goyang kameranya, nggak fokus nih..” atau “Aduh, tulisannya kok malah ketutupan tiang sih??). Hal-hal kecil dan sepele bisa menjadi sumber dari tidak berinteraksinya kami berdua selama beberapa menit. Walau tidak sampai saling benci, beberapa tarikan nafas panjang menandai usaha kami untuk menghilangkan pikiran negatif masing-masing.

Intermezzo: [Waw, bagaimana nanti dengan ‘pasangan hidup’ ya? Bukankah laki-laki dan perempuan punya perbedaan besar? Dan dengan-‘nya’ tidak hanya 10 hari, tapi seumur hidup! Argh!] :-)

Oh ya, saya teringat seorang ibu –rekan kerja- mengSMS sesaat sebelum kami berdua berangkat: “Both of u will be fine, saling mendukung & toleransi ya. Dibawa enak aja. Safe trip!”

Hmm... Saling mendukung, toleransi dan dibawa enak aja. Sip deh, bu!
Kalau boleh, mungkin bisa ditambah saling jujur dan percaya. Jangan hanya diam memendam pendapat, tapi coba aktif berkomunikasi. Saling menghargai, saling membantu, usahakan selalu berfikir positif dan selalu memberikan yang terbaik pada yang lain. (Lha, jadi banyak gini??!) :p
Kembali ke atas. Ehm.. walaupun keunikan masing-masing pribadi mewarnai saat-saat kami menghabiskan waktu bersama, saya tak akan pernah lupakan eratnya jabat tangan saat kami berada di beberapa lokasi fantastis yang kami kunjungi, berteriak kegirangan, dan mengucapkan ungkapan yang selalu sama: “Subhanallah... Gila, keren banget!” . Oh, juga saat sama-sama mengumpat kesal ketika yang satu lupa membawa kamera, yang satunya lagi kehabisan baterai kamera (setelah secara tidak sengaja malam-malam tersasar ke daerah China Town yang tengah merayakan Tahun Baru Imlek! Ouch!!). Hmm... Kami memang perpaduan yang aneh. :D

Ya. London, Paris dan Amsterdam menjadi bonus tugas kami mengikuti rangkaian workshop yang mendebarkan di Aberdeen, Skotlandia. Syukur Alhamdulillah, kami berdua telah melewatinya.

Gw rasa, gw nggak akan mampu kalo perginya nggak sama lo, i.
Makasih udah bisa sabar ngadepin gw.

You’re the best! ;)

Archives

July 2004   August 2004   September 2004   October 2004   November 2004   December 2004   January 2005   February 2005   March 2005   April 2005   May 2005   June 2005   July 2005   August 2005   September 2005   October 2005   November 2005   December 2005   February 2006   March 2006   April 2006   May 2006   December 2006   February 2007   May 2007   March 2008   April 2008   May 2008   June 2008   November 2008   January 2009   May 2009   June 2009   December 2009   November 2010  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]