Jendela Luluk

Sunday, November 28, 2004

 

Ya! Saya Bisa.

"Beginning is difficult. After that, it's easier."

Seorang rekan kerja paruh waktu, mengucapkan kalimat diatas untuk saya. Tekanan pekerjaan hari-hari belakangan ini sangat berat dan (bahkan) sebelum mulai mengerjakan, saya merasa tidak mampu menyelesaikannya.

Tetapi, hey..! Setelah dimulai, selanjutnya ternyata berjalan lebih mudah dari yang diperkirakan. Terima kasih, Ibu Tetty.. :)

~Minggu siang. Di kantor. Lembur. Siap tempur untuk 1 minggu kedepan.


Friday, November 19, 2004

 

Kunjungan Ibu-Ibu = "Buruan Kawin!"

Semalam, datang serombongan ibu-ibu dari RT sebelah bersilaturahmi ke rumah. RT sebelah memang terkenal kompak dalam bersosialisasi sehingga silaturahmi keliling kampung saja berombongan. Seperti layaknya ibu-ibu, tiada lain ciri khasnya selain ribuuutt…! Dan sebagai anak perempuan satu-satunya, saya punya kewajiban tidak tertulis untuk selalu menyajikan minum kepada tamu-tamu yang datang.

Setelah ‘ngutek-ngutek’ di dapur, keluarlah satu baki dengan beberapa gelas teh manis hangat ke ruang tamu. Sebenarnya cukup beresiko menyajikan teh manis, karena keakuratan komposisi gula, air dan teh menjadi titik kritis pada hasil akhirnya. Ditambah, harus secepat kilat membuatnya sebelum para tamu pamit.

Nah, betul dugaan saya.
“Ehm.., agak manis ya teh-nya?” komentar satu ibu.
“Ah, punya saya enggak kok” timpal yang lain.
“Wah, jangan-jangan Mbak Luluk pengen cepet kawin nih, hahaha..” seloroh yang lain. (hahh..??!)

Yeeh, kalau masakan terlalu asin yang artinya ingin cepat-cepat kawin saya sering denger, tapi kalau minuman terlalu manis artinya ingin cepat-cepat kawin juga?? Ngarang beneeer… *keki*

Tak lama, salah seorang ibu tiba-tiba teringat ingin meminum air zamzam. Entah darimana awalnya orang-orang tahu ayah saya memang mempunyai persediaan air zamzam pemberian kerabatnya. Uffh… dengan agak enggan saya kembali menghadapi tamu-tamu, kali ini dengan membawa 1 baki dengan beberapa gelas kosong + 1 pitcher air zamzam, dan buru-buru menyingkir. Sayup-sayup terdengar masing-masing ibu mengucapkan do’a dan keinginan sebelum meminumnya. Belakangan terdengar, “Kita do’ain deh yee Mbak Luluk supaya cepet dapet jodoh…”

Nahloh, saya kena lagi. Ada apa sih ini ibu-ibu? Sepanjang yang saya tahu, air zamzam memang salah satu khasiatnya adalah menyembuhkan penyakit, tetapi apakah juga dapat memperpanjang jodoh… saya baru tahu. Wah menarik juga. Bagi siapa saja yang punya referensi buku atau artikel mengenai khasiat air zamzam, kasih tahu ya..

Anyway, saya tidak menemukan ‘sesuatu’ dari semua ini selain mulai sedikit memikirkan ‘masa depan’ (apa coba?). Walaupun, itu juga tidak mudah.

Weleeh, emang dasar ibu-ibu!! Gini hari… ngomongin ‘kawin’ >:-(

~PERINGATAN: SESAMA JOMBLO DILARANG SALING MENCELA ;)


Tuesday, November 16, 2004

 

Menjadi Ahli Ibadah atau Ahli Ilmu?? : Memahami Ilmu Fiqih



Suatu hari, di depan para sahabatnya, Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Rasulullah Saw. bercerita tentang sebuah obrolan antara setan dan iblis.

Setan : Wahai, Tuan Iblis! Aku heran sekali.
Iblis : Apa Setan?
Setan : Tuan begitu gembira jika seorang ulama atau orang alim meninggal, sedangkan tuan cool saja kalau ahli ibadah meninggal?
(Tuan Iblis diam saja)
Setan : Apakah karena Tuan gagal membujuk si alim menjadi kufur, tapi di lain tempat Tuan berhasil menggoda si ahli ibadah?
(Tuan Iblis masih tampak diam. Ia seolah malas memberikan jawaban. Jadi, ia membiarkan anak buahnya menunggu sejenak, lalu..)
Iblis : Sebenarnya, aku tidak ingin banyak bicara kepada kalian sekarang. Kalian para setan, coba pergi sana, temui seorang ahli ibadah!
(Si setan hanya bisa melongo)
Iblis : CEPAT CARI!!!
(Para setan mulai berterbangan. Siuuut… siuuut… siuuut…)

Setan : Nah itu dia, si ahli ibadah! *nunjuk-nunjuk seorang ahli ibadah* Kita godain yuk..!
Setan : Hai, hamba Allah yang ahli ibadah! Apakah menurutmu, Tuhanmu Allah itu mampu menciptakan dunia dalam lubang telur?
Ahli Ibadah : Sungguh, aku tak tahu pasti tentang itu.

(Si setan kembali menemui Tuan Iblis)
Iblis : Kau lihat? Kau lihat? Sang ahli ibadah telah menjadi kufur kepada Tuhannya. Apa yang tidak mungkin bagi Allah? Jangankan hanya menciptakan sebuah dunia dalam lubang telur, yang lebih dari itu pun tidak ada susahnya buat Allah.

(Kawanan setan lalu mendatangi si alim ...)
Setan : Hai, hamba Allah yang berilmu, mampukah Tuhanmu menciptakan dunia dalam lubang telur?
Si alim : Tentu saja bisa, tinggal Kun Fayakuunu, maka... Jadilah! Tidak ada yang mustahil!
Setan : Aaarrrrrgggh! *langsung ambil langkah seribu*


Dan oleh sebab itu pulalah, dalam sebuah haditsnya, Rasulullah SAW mengatakan, “Seorang ahli fiqh, jauh lebih berbahaya bagi setan daripada seribu ahli ibadah.” (HR Ibnu Abbas)

Karena itu, bukan main-main, para ahli ilmu mendapat tempat yang begitu khusus, di dunia, juga di sisi Allah. “Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl:16)

Imam Maliki, seorang imam yang termasuk kedalam 4 ‘pendiri’ mahzab dalam ilmu Fiqih (ingat Mahzab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dong..?), dikenal sebagai seorang yang sangat hati-hati, bahkan ketika ia belajar dan berguru. Semua itu tidak lain karena ia tidak ingin belajar sesuatu yang salah dan kemudian menjadi kesalahan itu sendiri.

Untuk menentukan guru, beliau menentukan 4 kriteria yang baik pula kita contoh. “Janganlah mengambil ilmu dari 4 golongan orang. Pertama, jangan berguru atau mengambil ilmu dari orang yang berperangai buruk atau jahat. Kedua, jangan pula berguru dari seorang ahli hawa nafsu dan ahli bid’ah. Ketiga, jangan berguru kepada orang yang suka berdusta pada urusan hadits. Keempat, jangan sekali-kali berguru pada orang yang suka berbuat kebaikan, suka mengerjakan ibadah yang utama, tapi ia mengerjakan semua itu tidak dengan pengetahuan dan ilmu yang mendalam.”

Nah, membaca hal ini, saya jadi mencoba melihat apa-apa yang saya telah lakukan belakangan ini. Kemarin sewaktu bersilaturahmi ke rumah Eyang (jauh) di daerah Kalisari, dan bercengkrama akrab dengan keluarga besarnya, sempat terjadi diskusi menarik. Sewaktu saya mengisahkan kegiatan i’tikaf saya dan teman-teman, beliau berpendapat bahwa yang saya lakukan bukanlah i’tikaf melainkan mabit (bermalam) di masjid, sebab i’tikaf seharusnya berdiam diri di masjid selama 24 jam penuh. Salah seorang tante saya, ikut pula melontarkan topik puasa sunnah 6 hari di Bulan Syawal yang... apakah mesti dilakukan 6 hari tanpa putus mengingat ‘katanya’ lebih baik dilakukan pada 2 sampai dengan 7 Syawal?

Well.. Well.. Sesuatu seperti menusuk hati saya. Damn! Ngapain melakukan semua itu tapi hanya berdasarkan ‘katanya’ saja? Melihat dasar ilmu fiqihnya saja mungkin terakhir kali pada waktu mengaji bersama teman-teman atau sewaktu duduk di bangku kuliah. Yang baca posting saya kali ini, mengaku saja deh, coba kapan terakhir kali buka buku atau artikel yang berkaitan dengan ilmu fiqih?? :p *gaya nantangin* hehe..

Hmm.. Ayo Luluk, buka buku Fiqihnya!!
--
Baik, saya coba lihat 2 hal:

1. I’tikaf
Adalah berdiam di masjid, dengan persyaratan tertentu dan dengan niat beribadah, ber-tafakur (tentang hidup yang telah dan masih akan dijalani) dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Telah diriwayatkan bahwa Nabi Saw. Biasa beri’tikaf sebanyak 10 hari pada setiap Bulan Ramadhan.

Para ulama sepakat bahwa hukum i’tikaf adalah sunnah, kecuali apabila seseorang mewajibkannya atas dirinya sendiri, dengan mengucapkan nadzar. Tidak sah i’tikaf kecuali yang dilakukan oleh seorang muslim yang mumayyiz (sedikitnya berusia 6-7 tahun sehingga sudah mampu membedakan antara yang benar dan salah), suci dari hadats besar, dan (untuk perempuan) suci dari haid dan nifas.

Seperti ibadah-ibadah lainnya, i’tikaf memerlukan niat, yaitu untuk berdiam di masjid untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Orang yang beri’tikaf sebaiknya dalam keadaan berpuasa, walaupun hal itu tidak merupakan keharusan. Dianjurkan pula agar mengisi waktu i’tikafnya dengan pelbagai macam ibadah, seperti shalat-shalat sunnah, tilawah Al-Qur’an atau menghafal ayat-ayat-Nya, mempelajari ilmu yang bermanfaat, berdzikir dan beristighfar serta menjauhkan diri dari ucapan dan perbuatan sia-sia.

Hal-hal yang membatalkan i’tikaf :
1.Keluar dari masjid secara sengaja tanpa alasan yang kuat
2.Hilangnya kesadaran akal karena gila atau mabuk
3.Haid dan Nifas bagi perempuan
4.Melakukan jima’ atau keluar mani disebabkan mubasyarah (bersentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan perempuan), baik dengan mencium, memeluk dan sebagainya.


2. Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawal

Abu Ayyub Al-Anshari r.a. merawikan sabda Nabi Saw :
“Barangsiapa berpuasa bulan Ramadhan, kemudian diikutinya dengan 6 hari puasa di Bulan Syawal, maka seolah-olah ia berpuasa sepanjang masa.” (HR Muslim).

Yang lebih afdhal, menurut Mahzab Syafi’i, melaksanakannya secara berturut-turut langsung setelah Hari Raya Idul Fitri (mulai tanggal 2 sampai dengan 7 Syawal). Sedangkan menurut Ahmad (Mahzab Hambali) tidak harus berturut-turut dan tidak pula Bulan Syawal. Yang penting, keenam hari tersebut masih di Bulan Syawal.

Walaupun demikian, Malik (atau Mahzab Maliki) dalam Al-Muwath-tha’, dan sebagian penganut Mahzab Hanafi, tidak menyukai puasa enam hari di Bulan syawal. Mungkin mereka tidak menshahihkan hadits tersebut diatas. (An-Nawawi, Al-Majmu’ VI/348)

--

Lalu, bingung..? Hehe..
Mahzab-mahzab fiqih yang ada bukanlah sebuah sekte dan bukan pula ‘agama’ dalam agama. Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali bukanlah aliran-aliran, melainkan sebuah sudut pandang terhadap islamic jurisprudence (weeh, bahasanya) atau aplikasi atas hukum. Mahzab-mahzab ini hanya berbeda pada tingkatan furu’ al fiqh, penerapan hukum saja dan bukan pada sumber hukumnya. Sumber hukum keempat mahzab sama, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.

Makna lain fiqih adalah pemahaman. Artinya, memahami adalah proses yang paling penting dalam pendalaman Ilmu Fiqih. Oleh karena itu, jika ada seorang diantara pengikut-pengikut mahzab tersebut menjadi begitu ‘fanatik’, taklid, lalu anti dengan mahzab dan sudut pandang lain, perlu dipertanyakan sejauh mana pemahamannya. Untuk itu, Dr.Yusuf Qardhawi pernah berkata: “Fiqih secara lughawi (atau bahasa) bermakna pemahaman yang teliti, kecerdasan dan pengertian yang baik.”

Untuk itu, mari kita pahami ilmu fiqih yang menjadi dasar ilmu bagi kaum muslim dalam beribadah, jangan hanya menjalankan ibadah tanpa disertai ilmu dan pemahamannya.

Nah. Saya, tentu saja, tidak mau jadi ahli ibadah yang tidak berilmu. Anda juga tidak mau kan? :)

Wallahu a’lam bishowab.


Sumber:
Why Not? Fiqih itu Asyik. Herry Nurdin. Mizan. 2004.
Fiqih Praktis (Buku Pertama). Muhammad Bagir Al-Habsyi. Mizan. 2002.


~ehm... jenggot mulai numbuh nih, kayak pak ustadz, huehehe.. :p

Monday, November 15, 2004

 

Idul Fitri 1425 Hijriah




Dengan segenap kerendahan hati
atas segala salah dan khilaf
dalam sikap, perkataan dan perbuatan

Memohonkan maaf lahir dan batin
TaqobbalaLlahu minna wa minkum
Syiamana wa syiamakum

Teriring datangnya hari yang fitri
Melepas ikhlas Ramadhan nan suci
Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali bersih

Amin


~ayo semua, silahkan bersilaturahmi ke rumah luluk. masih banyak kue loh! ;)


Thursday, November 11, 2004

 

Isyarat Teguran..

Di tengah-tengah Qiyamul Lail berjamaah di Masjid At-Tin, pada shaf perempuan tiba-tiba terdengar tangis seorang anak kecil yang dibawa oleh ibunya untuk beri’tikaf. Si anak ini mungkin terbangun, dan bingung mencari dimana ibunya. Sang ibu yang sedang sholat, -saya yakin betul- pasti mendengarnya- tapi.. dia cuek aja tuh, tetap sholat meskipun semakin lama tangis anaknya semakin keras. Sebagai salah seorang jama’ah sholat, tak pelak saya keki dan terganggu. Saya pikir, bukankah lebih baik dia membatalkan sholatnya untuk menghampiri anaknya? Toh, pahala yang berusaha dia dapatkan dari sholat malam, tidak akan hilang, karena dia sudah berniat menunaikan sholat? Dan bukankah pesan moral Ramadhan salah satu diantaranya adalah memberikan kasih sayang kepada sesama termasuk anak sendiri disamping ibadah-ibadah ritual wajibnya? Si anak punya hak untuk mendapatkan kasih sayang ibunya dan sang ibu punya kewajiban untuk memberikannya.

Seketika, fikiran saya melayang ke ibu di rumah. Sewaktu izin pergi ke At-Tin malam itu, beliau memang mengizinkan saya pergi, tetapi ada semburat tidak rela yang sedikit saya tangkap dari mimik mukanya. Ibu memang mungkin tidak ingin saya pergi lagi malam itu setelah malam sebelumnya saya juga tidak di rumah, tetapi alangkah tidak kuasa beliau untuk melarang, dan saya, tetap pergi. Disini, ibu punya hak mendapatkan kasih sayang, saya punya kewajiban untuk memberikan, tetapi tidak memenuhinya.

Ah, cepat sekali Allah memberikan satu isyarat teguran-Nya. AlhamduliLlah..


Monday, November 08, 2004

 

I'tikaf dan 10 Hari Terakhir Ramadhan



Malam Ganjil (21) Rabu malam lalu
Seorang rekan kerja sudah memulai untuk mengikuti i'tikaf 10 hari di Masjid Pondok Indah. Padahal beliau seorang bapak yang baru saja dikaruniai sepasang anak kembar. Hebat ya? Sedangkan saya, uugh.. belum juga punya niatan i'tikaf.

Malam Genap (22) Kamis malam lalu
Malaaaas sekali melakukan aktivitas ibadah selepas seharian keluar kantor. Hoi.. Hoi.. Rasa malas, pergi sana..! :(

Malam Ganjil (23) Jum’at malam lalu
Ada 3 event pada sore menjelang malam itu. Menjenguk rekan kerja yang baru dianugerahi putra ketiga, buka puasa bersama dengan yayasan-nya big boss, dan Si Wahyu mengajak nonton Kenduri Cinta di TIM (ini bener-bener tumben lho dia mau ngajak). Ketiganya: batal! Sempat juga Magoroku ingin ikut nonton KC untuk kemudian i’tikaf di Masjid Pondok Indah. Tetapi atas dahsyatnya bujuk rayu saya (agar dapat tebengan), kemudian dia tertarik untuk mencoba Masjid At-Tin, meskipun akhirnya saya tidak jadi berangkat karena berbagai hal. --Maafkan, bro! :p

Malam Genap (24) Sabtu malam lalu
Berniat balas dendam. Bersama Lia, sahabat sewaktu SMA, saya pergi beri’tikaf ke At-Tin. Hmm, masjid ini lagi. Masjid agung yang besar dan luas dengan arsitektur menawan yang dilengkapi kamar kecil dalam jumlah banyak dan cukup terjaga kebersihannya. Yang pernah Qiyamul Lail disini pasti merasa terkesan dengan sang Imam yang selalu tak kuasa menahan tangisnya dalam bermuhasabah ditengah-tengah sholat. Menjelang pagi, Lia pun berucap: “Luk, Selasa kemari lagi ya..” --Hehe.. ketagihan dia. :D

Malam Ganjil (25) Minggu malam lalu
Setelah berbuka puasa bersama dengan para sahabat ngaji, saya niatkan untuk beri’tikaf di At-Tin lagi. Tidak adanya teman justru lebih efisien untuk menghabiskan malam dengan bertadarus Al-Qur’an. Malam itu, Qiyamul Lail dipimpin oleh Imam yang berbeda dengan malam sebelumnya. Bila kemarin dipenuhi isak tangis yang pilu menyayat hati, kali ini alunan surat dalam sholat dibacakan dengan nada yang indah dan cukup membuat saya terkagum-kagum. Hey..! Saya lebih suka ini, daripada berurai air mata di tengah-tengah sholat yang cukup menganggu dan justru membuat sholat tidak khusyu’. (Lagi sholat gitu loh.. kalo lagi do’a sih gak papa deh) Argh! Saya melewatkan namanya ketika diucapkan oleh panitia i’tikaf. Bisa jadi Imam favorit nih. :p

Saya tidak yakin apakah ini berkaitan dengan pertanyan seorang ibu pada saat acara ceramah umum pukul 10 malamnya, yang menanyakan boleh tidaknya bacaan sholat di‘ganggu’ dengan isak tangis. Si ibu merasa keberatan bila mengikuti cara Sang Imam pada Sabtu malam lalu. Menurutnya, bacaan sholat adalah bacaan yang diucapkan dengan lafadz pengucapan yang jelas, dan alunan suara yang indah. Sang ustadz kemudian menjelaskan bahwa hal itu boleh saja dilakukan selama tidak mengganggu konsentrasi yang lainnya. --Hmm.. ya, cukup menganggu bagi saya. Karena nggak ngerti apa maksud yang ditangisi. :( Bete, pengen deh bisa Bahasa Arab..

Malam Genap (26) Senin malam ini
Padahal baru saja kemarin saya ‘nyela’ Magoroku sahabat saya, sebagai orang yang menuh-menuhin malam ganjil di masjid saja, karena datangnya hanya pada saat malam ganjil, tapi ternyata saya sama saja, haha..! :D –abis, orang rumah protes juga, saya ngayap mulu.

Malam Ganjil (27) Selasa malam besok,
Sudah atur janji dengan Lia.. yang matanya lumayan bengkak sehabis QL kemarin. Hihi.. :p --piss, bro!

Malam Genap (28) Rabu malam besok,
Jika tidak terlalu lelah, saya berniat i’tikaf lagi, tetapi kalau tewas yaaa i’tikaf di kamar sendiri dulu deh. :p --lagi-lagi, menganaktirikan malam genap

Malam Ganjil (29) Kamis malam besok,
Bahkan teman gaul saya (atau teman saya gaul?), sudah sejak jauh-jauh hari menjadwal Kamis malam untuk beri’tikaf. Dahsyat juga pengaruh i’tikaf yang diikutinya tahun lalu akibat ajakan saya padanya, sehingga membuatnya ingin merasakannya lagi. – Meski hanya 1 malam, tapi lumayan..

Malam Genap (30) Jum’at malam besok,
Berharap semarak takbiran juga mewarnai hati yang fitri esok hari. Pada akhir Ramadhan, selalu saja terasa kurang dengan apa yang dilakukan sebulan ini. Bagaimanapun waktu tidak bisa berulang.


Ugh, sebisa mungkin saya ingin susun rencana terbaik yang bisa dilakukan menjelang berakhirnya Ramadhan.
Ah, saya tidak cukup pandai menuliskan hikmah beri’tikaf, tetapi coba deh i’tikaf di masjid.. sekali merasakan nikmatnya, tahun depan sebelum diajak pasti sudah ngajak duluan, hehe.. :)

Ayo semuanya, i’tikaf yuk!

~padahal semangat i'tikaf kalo lagi Ramadhan doang. huu.. payah
:(

Friday, November 05, 2004

 

Buka Puasa Bersama Tapak Alam Hijau



Rabu sore, jadwal saya adalah berbuka puasa bersama dengan para sahabat yang tergabung dalam Tapak Alam Hijau (TAH), satu komunitas yang ‘kebetulan’ terbentuk dari wisata alam ke Taman Nasional Ujung Kulon (gila, saya gak bosen-bosennya nyinggung ‘TNUK’). :p

Nah, apa yang unik dari acara ini?
Mmmh.. Sejak sekitar seminggu yang lalu topik mengadakan buka puasa bersama menjadi diskusi hangat pada ‘milis’ TAH. Sempat tercetus usulan untuk berkumpul di suatu tempat makan di Sarinah Thamrin, tetapi usulan lain yang berasal dari ‘bapak ketua panitia’nya terlihat lebih kuat. Tentu, dengan disertai alasan ‘agar bersamaan waktu dengan latihan panjat dinding’, penentuan lokasi untuk berbuka puasa di Arena Panjat Dinding Pasar Festival menjadi lebih efisien dan efektif. Haah? Buka puasa di Arena Panjat Dinding? Ya. Kenapa tidak? Justru asik, seru, dan lain daripada yang lain.

Dan karena November penghujan sudah datang (mengutip Sapardi), menjelang sore, Depok diguyur hujan lebat yang menyebabkan jalan sepanjang kampus Universitas Pancasila sampai dengan kawasan Pasar Lenteng menjadi tergenang air. Diperparah dengan adanya jadwal teleconference pada pukul 4 sore di kantor, mengakibatkan saya keluar kantor sudah menjelang pukul setengah lima, dan sampai di Condet, tempat untuk bertemu dengan Mbak Nurul sang istri pak ketua (ehm.. ehm..) & Pak Kamaluddin ayahandanya yang alumni jalan ke TNUK, sudah lewat dua puluh menit dari pukul lima. Bisa menebak sampai di Kuningan jam berapa? Setengah tujuh malam. Hehe.. Buka bersama dalam mobil deh.. :p

Sesampainya di Arena Panjat Dinding Pasfes Kuningan, setelah sebelumnya Sholat Maghrib di musholla parkiran bawah, sudah berkumpul sahabat-sahabat TAH yang ternyata juga rata-rata baru saja tiba di lokasi, terkecuali tentu saja panitia konsumsi.

Yeah!! Ketemu lagi sama Kak Febie yang kerap full smiling, Kak Sinur yang tiba-tiba kok bisa nginvite (duh, bahasanya) saya di friendster, Mbak Dian dan Mbak Evi yang senang hati menyiapkan ransum buka puasa, Kang Mul dengan kacamata barunya setelah yang lama hilang jatuh di laut Ujung Kulon, Mas Farid sang fotografer yang hasil slidenya bagus-bagus banget (+kameranya juga bikin saya mupeng), Mas Adam yang terobsesi mempersiapkan diri sebelum benar-benar naik gunung beneran, Mas Eka yang ssst..ternyata di friendster banyak penggemarnya loh (haha..!), David yang tinggi menjulang dan memuji kamera saya melulu padahal jelas-jelas Nikon Coolpix-nya lebih oke, Edi si tukang sulap yang over-creatif pula membuat kenangan jalan ke TNUK kedalam VCD, Boim si wartawan Hai yang saya baru tahu ternyata baru tahun pertama dengan status mahasiswa (hebat dong, udah kerja), dan juga Mas Boed aktifis milis Pangrango yang genk-nya sebenarnya ada di kelompok yang duduk tepat di depan dinding panjatan tetapi karena hmm..mungkin pakaiannya yang kostum kerja kantoran membuat lebih cocok bergabung dengan kita-kita, haha..! :D

Eh, eh, lupa. Ada satu lagi belum kesebut, si Hamzah mahasiswa abadi (abis gak lulus-lulus) yang ternyata ngangenin euy.. (duh, mudah-mudahan dia gak baca postingan ini) hihi.. :p --cepetan lulus napa, zah! naek gunung mulu..

Setelah makan malam lesehan dengan menu ayam taliwang-plecing kangkung yang nikmat dan berbincang akrab, Mas Deni ‘sang ketua panitia TAH’ (padahal belum ditetapkan secara resmi ya??) memulai aksi panjat dindingnya. Menurut penuturan beliau, jadwal latihan panjat dinding yang dikoordinasi oleh milis pangrango adalah setiap Rabu dan Jum’at, sehingga beliau pun kerap rutin menyambangi arena panjat dinding ini. Hmm… ucapannya ternyata bisa dibuktikan dengan sigap dan cepatnya beliau menuju puncak gemilang cahaya.. eh salah, puncak dinding panjatan. Sip deh. Kejadian ini cukup membuat Kang Mul tergoda mencoba karena terlihat mudah bagi dirinya yang ‘ringan’ berat badan, akan tetapi ketika diingatkan Kak Febie bahwa ringan badannya belum tentu ringan dosanya, membuat Kang Mul berpikir-pikir kembali. Hehe.. :p Lain halnya dengan Boim yang cukup sigap juga, tetapi tidak berhasil sampai ke puncak (padahal tinggal satu pijakan lagi tuh, im).

Tak ketinggalan pula --dan saya rasa ini hal yang wajib dilakukan jika ada seorang ‘Edi’ dalam suatu forum-- diadakan pertujukan sulap menghilangkan uang pecahan 1000 rupiah untuk kemudian tiba-tiba muncul di sakunya David! Saking terpesonanya para penonton membuat Edi mengulangi pertunjukannya, dengan tetap membuat para penonton terheran-heran dan bertepuk tangan. Sayang dia tidak membawa kartu, sehingga tidak bisa mempraktekkan kemahiran kecepatan tangannya seperti pada pertunjukan pada waktu di atas kapal sepulang dari Ujung Kulon lalu. Saya tunggu saja deh kapan masuk TV-nya, Ed! :D

Tanpa terasa, malam merambat melewati pukul sembilan membuat kami menyudahi aktivitas untuk pulang ke rumah masing-masing. Dari perbincangan singkat, tersusun berbagai keinginan untuk kembali melakukan kegiatan wisata alam di waktu mendatang dan tak lupa memohon doa untuk kelancaran perjalanan menuju Gunung Kerinci 15 November mendatang. Hmm.. What a journey..

Tak ada yang bisa menandingi acara buka puasa saya di arena panjat dinding kali ini..


~berfikir, kapan bisa berbuka puasa bersama di pinggir tebing beneran


Tuesday, November 02, 2004

 

Naik Sado Koeliling Menteng



Halo semua! Dengan penuh suka cita, kali ini saya tuliskan kegiatan saya dan teman-teman pada akhir minggu lalu. Kerinci? Belum-lah. Itu nanti. Entah saya jadi pergi atau tidak. Belum dapet lampu ijo soalnya :p

Minggu sore lalu saya dan 2 teman ikut serta dalam sebuah acara ngabuburit keliling daerah Menteng yang terkenal dengan keelitannya. Ngapain? Yaah, Jakarta, tanpa kita sadari, ternyata belum begitu kita (terutama saya) ketahui seluk beluknya. Entah tempat tinggal saya yang nun jauh dari pusat kota ataukah saya yang memang kuper tidak pernah menjelajahi Kota Jakarta, membuat saya cukup nyaman atawa betah nge-jogrog (Bahasa Indonesianya apa ya?) di Selatan Jakarta dan... peduli apa dengan pusat kota?

Pernah dengar ‘Sahabat Museum’, suatu komunitas pemerhati tempat-tempat dan gedung/bangunan bersejarah..? Dari Wida dan Ai, saya pernah dengar waktu mereka ikutan Plesiran Tempo Doeloe ke Kampung Cina. Demikian pula dengan acara (kalau tidak salah) jalan-jalan ke Kota Bogor untuk menelusuri sejarah Kebun Raya dan Istana Negara-nya. Dan kali ini, Sahabat Museum mengadakan acara menelusuri daerah Menteng sambil ngabuburit menunggu beduk berbuka puasa, dengan mengendarai….percaya atau tidak, sado! Ya, kita akan mengelilingi daerah Menteng dengan mengendarai ‘sado’ atawa kereta ditarik kuda, dan itulah makanya acara ini disebut NSKM (Naik Sado Koeliling Menteng)

Acara ini pertama saya curi tahu dari Ai, rekan kerja, yang bergabung dalam milisnya Sahabat Museum. Lantas dia mengajak saya untuk ikut acara ini dan sekalian saja bergabung dalam milisnya. Para ‘aktivis’ Sahabat Museum cukup membuat saya terkesan dengan memberikan respon yang hangat dan sangat antusias terhadap suksesnya suatu acara. Heran juga, hari gini ada ya yang rela ber-‘repot-repot ria’ mengurus ini itu, yang pastinya banyak menyita waktu, tenaga dan biaya. Salut deh! (“,)b

Maka jadilah. Saya bersama Ai, dan Popy pada pukul 3 Minggu sore itu, berkumpul di depan Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi bersama dengan peserta yang lain. Dari daftar yang disebarkan di milis, tercatat kurang lebih ada 200 peserta yang berniat keliling Menteng. Disana saya bertemu dengan Edi, salah satu peserta waktu jalan ke Taman Nasional Ujung Kulon, yang Alhamdulillah tidak mengenakan kaos resmi TNUK yang saya pakai. Dresscode acara kali ini adalah pakaian berwarna hijau, dan saya tidak punya pakaian berwarna hijau selain kaos TNUK itu! Yaah, walaupun cuma kaos tapi bangga juga sih ada gambar kepala badak besar bercula satu-nya. Hehe.. :p

Setelah dilakukan daftar ulang, peserta dikelompokkan dengan didampingi oleh satu asdos (asisten sados) yang akan menemani disepanjang perjalanan kami. Asdos kami kali ini adalah Mbak Susi, yang saya nilai sangat pengertian karena rela menunggu saya yang selalu datang paling akhir karena terlalu lama potret-potret (thanks ya, mbak!). Sambil berjalan dari halaman Museum Perumusan naskah Proklamasi menuju Taman Suropati tempat kita akan menaiki sado, beliau memberikan beberapa penjelasan mengenai rute dan hal-hal menarik yang dapat kami jumpai sepanjang perjalanan menelusuri daerah Menteng.

Oh ya, Museum Perumusan Naskah Proklamasi merupakan sebuah rumah bergaya “Menteng banget” yang memiliki peran yang sangat penting dalam proses kemerdekaan INDONESIA. Di rumah inilah para tokoh nasional merumuskan naskah proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno pada hari Jumat 17 Agustus 1945, bertepatan dengan bulan puasa. Inilah konon, alasan mengapa Sahabat Museum mengemas acara NSKM ini di bulan puasa. ya kan, Mas Adep? ;)

Gedung ini didirikan sekitar pertengahan tahun 1920 oleh Asuransi Nilmij dengan arsitektur Eropa pada waktu itu, luas tanahnya 4.380 m2, sedangkan luas bangunan 1.645,31 m2. Gedung ini dihuni beberapa penghuni yang berbeda. Tahun 1931, pemiliknya atas nama PT. Asuransi Jiwasraya. Sebelum pecah perang Pasifik, bangunan ini dipakai sebagai gedung British Council General, dan ini berlangsung sampai Jepang menduduki Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang gedung ini menjadi tempat kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda beserta keluarganya. Beliau adalah kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, gedung ini tetap menjadi tempat tinggal Maeda, sampai sekutu mendarat di Indonesia bulan September 1945. Selanjutnya gedung ini dikuasai dan digunakan sebagai Markas Tentara Inggris.



Wuh, sejarah… sejarah… :D
Dilanjutkan ya?

Taman Suropati. Merupakan sebuah taman yang doeloenja bernama Burgermeesterbisschopplein, nama taman (plein) ini diambil dari nama seorang walikota Batavia yang bernama Bisschop. Taman ini boleh dibilang merupakan ruang terbuka yang menyegarkan di tengah-tengah Menteng. Menurut Mbak Aliza, peserta NSKM yang sudah lama bermukim di Menteng (kalau tidak salah), Taman Suropati ini dulunya merupakan tempat diadakannya pertandingan sepatu roda dan disepanjang tepi taman banyak dijumpai pedagang lukisan yang bagus-bagus untuk ditawarkan kepada para pengunjung taman. Sedianya, di area ini panitia akan menyelenggarakan permainan tempo doeloe, yang berjudul: “Permaenan Djadoel”, yang mungkin karena keterbatasan waktu menjadi tertunda untuk kesempatan lain.

Nah, Di arah selatan dari taman ini, terdapat Gedung Bappenas (sejak 1967) yang doeloenja bernama Vrijmetselaarloge, dibangun pada sekitar tahun 1925. Loge ini adalah rumah pertemuan para vrijmetselaar atau freemasons (anggota perhimpunan yang memperjuangkan persaudaraan serta kebebasan, konon saking kuatnya himpunan ini -malahan sudah seperti agama- sempat membuat cemas pemerintah Hindia Belanda saat itu). Sebelumnya mereka menempati sebuah gedung (kini Gedung Kimia Farma) yang terletak di Jl. Budi Utomo (doeloenja Vrijmetselaarweg), dekat Gedung Kesenian Jakarta (Stadschouwburg).

Di sebelah kanan gedung ini terdapat sebuah gereja tua yang doeloenja bernama Nassaukerk, dibangun pada tahun 1936. Disebut Nassaukerk karena terletak di pojok sudut Nassau Boulevard (kini Jl. Imam Bonjol). Gereja ini dirancang oleh seorang arsitek bernama Ir. W. E. Burhoven Jaspers yang juga merancang Hotel des Indes, sebuah hotel cantik yang terletak di Jl. Gajah Mada (doeloenja Molenvliet West), namun sudah dirobohkan pada tahun 1971 dan lokasinya digantikan dengan pertokoan Duta Merlin. Sungguh sayang memang. Satu hal yang paling dikenang di hotel ini adalah hidangan rijstafel-nya.

Setelah menunggu sekitar 10 menit, ah! Itu dia! Iring-iringan sado menuju Taman Suropati, yang menurut Mbak Susi sang asdos, panitia memesan sebanyak 55 sado! Gila kan? Terbayang nggak iring-iringan 55 sado membelah jalan utama Jakarta (nggak utama banget sih..) di daerah Menteng pula! Hebat euy, SM. Sementara menunggu sado diberi nomer oleh panitia, saya kembali membaca hand out yang dibagikan panitia.

Belajar sejarah lagiii... :D
Kali ini tentang sado.

Sampai akhir abad ke-19, kereta kuda boleh disebut raja jalanan di Betawi. Kuda merupakan sarana utama dari angkutan umum di Ibu Kota Hindia Belanda itu. Di setiap jalan, yang terlihat hanyalah kereta (ditarik) kuda.

Ada beberapa jenis kereta kuda. Yang mungkin paling kuno, adalah kahar. Ini adalah kereta beroda dua yang ditarik seekor kuda. Untuk perjalanan jauh, baru ditarik paling sedikit dua ekor kuda. Kahar yang semula dimiliki oleh orang kaya, atau para ambtenaar itu belakangan dikomersialkan sebagai sarana angkutan umum. Siapa saja yang mau membayar, dapat menaikinya.

Komersialisasi kahar akhirnya melahirkan trem kuda, yang mulai beroperasi di Betawi pada tahun 1869. Trem kuda merupakan kereta panjang yang mampu menampung sekitar 40 penumpang, berjalan di atas rel dan ditarik oleh tiga sampai empat ekor kuda. Rute trem kuda terbatas: Berawal dari Kota Intan (dekat Kali Besar) menuju Harmonie, kemudian bercabang dua: yang satu ke daerah Tanah Abang, dan yang satu lagi ke Jatinegara (Meester Cornelis), melalui Pasar Baru (Passer Baroe), Lapangan Banteng (Waterlooplein), Pasar Senen dan Kramat. Trem kuda banyak dipilih oleh penduduk, karena ongkosnya lebih murah dibanding kahar.

Selain kahar, kereta kuda yang memiliki roda dua adalah dos-a-dos, yang menurut lidah orang Betawi disebut sado. Sesuai namanya, dos-a-dos (beradu punggung), kereta ini dapat menampung empat penumpang (termasuk kusir) yang duduk beradu punggung: dua di depan dan dua di belakang.

Ada lagi kereta kuda yang disebut delman, sesuai nama penemunya: tuan Deelman. Inilah kereta kuda yang dimodifikasi agar lebih praktis, ringan dan cepat. Kereta kuda yang agak mewah dengan memakai penutup tenda disebut ebro, atau dalam sebutan penduduk embro. Kereta kuda ini dimiliki oleh EBRO (Eerste Bataviasche Rijtug Onderneming), perusahaan penyewaan kereta.

Memasuki abad ke-20, kuda sebagai raja jalanan digusur oleh fiets atau velocipede alias kereta angin, yang belakangan dikenal dengan nama sepeda. Raja jalanan yang baru itu membuat banyak orang jengkel. Pengendara fiets kadang-kadang sangat ceroboh: memacu kendaraan itu seenaknya tanpa melihat kiri dan kanan, bahkan saat keluar dari gang masuk jalan besar. Akibatnya sering terjadi tabrakan dengan dos-a-dos, seperti pernah diberitakan koran Bintang Betawi.

Tabrakan di jalan Kramat itu akibat kesalahan pengendara fiets. Tapi karena fiets-nya hancur, ia meminta kerugian pada tukang dos-a-dos. Akhirnya tukang dos-a-dos yang tiada salah itu ditangkap polisi, dihukum dan harus mengganti fiets yang hancur itu.

(Sumber 'Sado' : Adit SH, sejarawan dan pengamat sosial, dikutip dari kolom: Betawi Seabad Silam yang dimuat di harian WARTA KOTA - Jumat 31 Januari 2003).

Nah, setelah semua sado siap, peserta boleh menaiki sado sesuai dengan nomor yang sudah ditetapkan. Saya dan teman-teman mendapatkan sado nomor 12 yang menurut pak kusir-nya ditarik oleh ‘si Roy’. Teman satu kelompok yang lain menaiki sado nomor 13 dibelakang kami yang ditarik oleh ‘si Jaka’ yang usianya baru 1,5 tahun! “Wah, nggak kasihan tuh pak?” Sambil mengusap-ngusap kudanya, pak kusir nomor 13 dengan bangga menjelaskan, “neng, kalo kagak dibiasain narik sado, badannya jadi kagak kuat ntaran”. “Oooh..”, serempak semua manggut-manggut. “Lagian kuda malah senengnya lari-lari begini kok”, sahut Mbak Emma, teman satu sado yang langsung ikut membelai-belai kepala si Jaka yang sudah sedikit basah akibat keringat.

Tak lama kemudian, setelah semua peserta naik, kami berangkat dimulai dari lampu merah sebelah barat Taman Suropati. Seketika langsung saja teringat Mbak Susi sang asdos yang mengingatkan bahwa sado dimaklumkan untuk menerabas lampu merah karena yaaah... memang sudah kebiasaannya yang demikian. “Nanti kalau diberhentikan polisi, tunjuk saja saya di depan” katanya, dengan mantap. Saaaah, panitia... panitia... (tob dah!)

Perjalanan dimulai dengan melintasi arah depan Jl. Surabaya (Soerabajaweg), kemudian melewati rumah kediaman Bung Hatta, tokoh proklamator dan Bapak Koperasi Indonesia, di Jl. Diponegoro no. 57. Rumah kelahiran Bung Hatta terdapat di Bukittinggi yang rencananya Sahabat Museum akan kunjungi pada tanggal 17 Desember 2004 dalam acara “Plesiran Tempo Doeloe: Ranah Minang” yang akan diadakan pada tanggal 16-19 Desember 2004. (Hebat kan, sampai ke minang juga dikejar tu rumahnya Bung Hatta..) *mupeng*

Kemudian belok kiri ke Jl. Pegangsaan Barat (doeloenja Pegangsaan West) di sebelah kanan, tampak sebuah bioskop djadoel, Megaria 21 (doeloenja Metropole), meski milik jaringan 21, tetapi bioskop ini pamornya makin lama makin memudar. Pada masa kejayaannya doeloe, bioskop ini merupakan tempat plesiran kawula muda, namun kini gengsinya semakin sirna ditelan masa. Sahabat Museum rencananya akan bernostalgia dengan mencari tahu tentang riwayat bioskop tempo doeloe sekalian memutar film tempo doeloe, yang rencananya akan diberi nama: “Nonton Bioscoop” (Sip! Sip!)

Di sebelah kiri jalan, tepatnya Jl. Pegangsaan Barat no.16, terdapat sebuah rumah djadoel milik keluarga Soedarpo Sastrosatomo. Rumah yang terawat baik dan cantik ini merupakan salah satu aset Menteng djadoel yang mengagumkan.

Perjalanan dilanjutkan ke Jl. Moh Yamin, jalan ini doeloenja bernama Madoeraweg lalu belok kanan memasuki Jl. Teuku Cik Ditiro yang doeloenja bernama Oud Gondangdiaweg, terus lurus melintasi Jl. RP. Soeroso (Raden Panji Soeroso) seorang pahlawan nasional dari partai Parindra (Partai Indonesia Raya).

Di sebelah kanan (seberang jalan) terlihat Kantor Pos Cikini. Kantor pos ini dibuat di lahan yang sulit, bergaya Art Deco. Supaya tidak terlalu masif, si perencana seakan-akan memisahkan bangunan ini menjadi dua bangunan yang simetris, dimana penghubungnya diperkuat dengan dua menara yang sengaja agak mundur supaya tidak terlalu dominan. Sayang kini nasibnya sudah mau dijual. Semoga calon pembeli gedung ini bisa menjaga keutuhan bangunan aslinya.

Sesampainya lampu merah, kita belok kiri ke Mesjid Cut Mutiah (Gedong Boplo). Boplo adalah akronim untuk Bouwploeg. Bangunan ini tidak terlihat seperti mesjid pada umumnya karena memang pada awalnya dibangun untuk difungsikan sebagai kantor developer, bukan mesjid. Kantor ini didirikan oleh P.A.J. Moojen. Ia dan perusahaan developer N.V. de Bouwploeg inilah yang membangun kota satelit Menteng. Pada tahun 1948, Belanda membangun kota satelit baru di bagian selatan kota Jakarta, Kebayoran Baru, kawasan ini dibangun oleh CSW (Centrale Stichting Wedeopbureaw). Kini CSW tinggal kenangan, tak banyak yang tahu dimana letak persis kantornya.

Dari Mesjid Cut Mutiah ini, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki mengunjungi Gedung eks Imigrasi Jakarta Pusat (doeloenja Bataviasche Kunstkring). Bangunan ini dahulu berfungsi sebagai gedung kesenian yang megah, dan merupakan “pintu masuk” ke kawasan Menteng, dibangun pada tahun 1913 oleh arsitek yang juga membangun Gedong Boplo. Di gedung Bataviasche Kunstkring ini doeloenja pernah dipamerkan lukisan-lukisan karya pelukis kondang dunia, seperti: Pablo Picasso dan Vincent Van Gogh. Sayang gedung ini sekarang terbengkalai tak terawat.

Jl. Teuku Umar merupakan jalan utama yang cukup panjang, yang membelah bagian tengah Menteng. Hal yang menarik dari jalan ini adalah namanya, doeloe bernama Van Heutsz Boulevard, nama seorang jenderal Belanda yang berperang di Aceh. Pada masa pendudukan Hindia Belanda, patung Van Heutsz juga dipasang di taman yang lokasinya sekarang menjadi Taman Cut Mutia. Setelah kemerdekaan patung ini dihancurkan oleh para pejuang kemerdekaan dan semua nama jalan yang berbau Belanda diganti dengan nama pahlawan Indonesia, tetapi nama jalan yang berasal dari nama kota, banyak yang dipertahankan.

Setelah melewati kembali Taman Suropati, sado kami tidak berhenti dan terus lurus menuju Museum Perumusan Naskah Proklamasi, memasuki halamannya dan hup! Tepat didepan pintu depan gedung kami turun. Gile! Ampe depan pintu tu sado! Hehe.. :p Di halaman belakang museum sudah cukup banyak peserta dan panitia yang sibuk mengisi dan membagikan lembar evaluasi. Menjelang pukul setengah enam sore, Sang Ketua Sahabat Museum, Mas Adep, memberikan sambutannya. Diteruskan dengan penyambutan oleh Bapak Nunus, seorang arkeolog-sejarawan-pemerhati seni & budaya (atau sejenisnya), yang dengan senang hati memaparkan kegembiraannya terhadap penyelenggaraan acara ini. Bahkan katanya, melihat antusiame para peserta sampai ke lapisan bawah (maksud lapisan bawah apa ya?), acara NSKM ini bisa masuk kedalam program 100 hari-nya Pak SBY lho! (Berlebihan ah, pak..) hehe..

Acara kemudian disambung oleh salah seorang panitia (aduh, siapa itu namanya?) yang memberikan uraian mengenai sado, seperti yang tertera dalam hand out peserta. Panitia yang lain sibuk membagikan penganan untuk berbuka: teh manis hangat, kue-kue, kolak, satu gelas air mineral dan satu bungkus nasi tegal. Dan, ah! Pas sekali, setalah semua sudah terbagi, terdengar Adzan Maghrib berkumandang. Alhamdulillah, lapar dan dahaga hilang seketika, tapi kali ini dibarengi dengan perasaan senang karena berkumpul dan terselesaikannya acara NSKM dengan sukses. Eh, sukses kan ya, Mas Adep? ;)

Kalau tidak keberatan (dan mudah-mudahan tidak), masih ada lagi penggalan materi sejarah daerah Menteng dalam ‘special gift’ NSKM.
(Ha? Masih ada lagi?)

Yup! Belajar sejarah lagi… :D

Menteng. Sebuah nama yang sejak dulu menyiratkan makna elite baik bagi penghuni di masa dekade kedua abad ke-20 ketika kawasan ini mulai dibangun hingga sekarang pada awal abad ke-21. Memang sudah sejak awal dibangun, kawasan ini dapat dikatakan sebagai kota satelit pertama di Batavia, bahkan di Hindia Belanda. Sebuah kawasan permukiman yang dirancang dengan standar ruang kota sangat baik. Lengkap dengan segala fasilitas umum yang tersebar di dalam maupun pinggiran kawasan ini.

Berbeda dari real estat yang telah menjamur di seputar Jabotabek, kawasan Menteng dirancang dengan konsep yang sedang hangat di seluruh dunia pada masa itu berupa kota taman tropis. Yang disebut Menteng sebenarnya meliputi dua wilayah, yaitu Nieuw-Gondangdia dan Menteng. Awalnya, pihak pengembang swasta (De Bouwploeg) yang ingin melakukan pembangunan ini, bekerja sama dengan Kotapraja (Gemeente) Batavia dalam proses pembebasan tanah dan perencanaan sistem utilitas maupun infrastruktur kota.

Rancangan Menteng-I (1910) yang dibuat oleh PAJ Moojen ini lebih mendominasi wilayah utara (Nieuw-Gondangdia), dimulai di area Taman Cut Meutia saat ini hingga Sungai Gresik. Banyak terdapat jalan berbentuk radial sehingga menimbulkan persimpangan yang tak terduga. Di seputar Taman Cut Meutia inilah yang disebut gerbang real estat Menteng bila kita datang dari arah pusat kota. Di sinilah berdiri Gedung Bouwploeg (Masjid Cut Meutia) dan Gedung Kunstkring (eks Gedung Imigrasi) yang menjadikannya sebagai tengaran area masuk kawasan Menteng. Area ini juga dilengkapi dengan deretan lansekap (pohon palem raja) dengan disambut sebuah urban sculpture berupa monumen bergaya art-deco tepat di taman depan Gedung Bouwploeg. Saat ini monumen tersebut sudah tidak ada dan suasana gerbangnya pun mulai hilang karena gedung-gedung megah itu sudah tidak terlihat jelas tertutup pepohonan yang tidak tertata.

Sebagai perluasan dibuatlah rancangan Menteng-II (1918) oleh FJ Kubatz, pergantian perancang kota ini pun menghasilkan lay-out masterplan yang berbeda dengan rancangan pertama. Jalan berbentuk lurus dengan persimpangan tegak lurus lebih banyak mendominasi rancangan kedua ini yang meliputi wilayah selatan dari Sungai Gresik hingga Kali Malang (Bandjir Kanaal).

Jantung kawasan Menteng ini terdapat dalam rancangan perluasan ini yang terletak di Burgemeester Bisschopplein (Taman Surapati). Taman ini merupakan pertemuan dua bulevar utama kawasan ini, Utara-Selatan (Van Heutsz Boulevard- Jl. Teuku Umar) dan Timur (Oranje Boulevard- Jl. Diponegoro)-Barat (Nassau Boulevard- Jl.Imam Bonjol).

Perluasan terakhir (1934) adalah wilayah Selatan Kali Malang yang disebut Nieuw Menteng (area Guntur). Di sini lebih diutamakan untuk perumahan sederhana.

(Sumber 'Menteng': Aditya Fitrianto, arsitek, pemerhati jejak pusaka kota dan arsitektur, dikutip dari artikel Real Estat Menteng dalam Dilema yang dimuat di harian KOMPAS Minggu, 11 Agustus 2002)



Sumber Utama : Sebagian besar berasal dari materi NSKM Sahabat Museum.
Teriring rasa terimakasih kepada Mas Adep yang telah mengizinkan saya menggunakan materinya dan mempublikasikannya di sini. Jadi lebih berbobot lho! ;)

Bravo SM! (",)v


Archives

July 2004   August 2004   September 2004   October 2004   November 2004   December 2004   January 2005   February 2005   March 2005   April 2005   May 2005   June 2005   July 2005   August 2005   September 2005   October 2005   November 2005   December 2005   February 2006   March 2006   April 2006   May 2006   December 2006   February 2007   May 2007   March 2008   April 2008   May 2008   June 2008   November 2008   January 2009   May 2009   June 2009   December 2009   November 2010  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]